Rabu, 20 Januari 2016

MAKNA أَنْ لاَ~anla DI DALAM KALIMAT SYAHADAT




Kemudian setelah membahas kata أَشْهَدُ~asyhadu didalam kalimat syahadat selanjutnya membahas kata أَنْ لاَ~anla, dimana didalam kalimat syahadat kedudukannya sebagai Rukun Syahadat yang pertama yang disebut dengan rukun اَلنَّفْيُ= An-Nafyu(Penolakan) sebagaimana yang dipahami dari makna rukun yaitu sesuatu yang harus ada pada saat mengerjakan sesuatu, maka berkaitan dengan rukun syahadat yang pertama yaitu rukun penolakan, artinya bagi seseorang yang telah mengucapkan kalimah syahadat maka wajib terjadi adanya  penolakan-penolakan pada dirinya. 

Adapun hal-hal yang harus ditolak dalam diri seseorang yang telah mengucapkan kalimat syahadat adalah;

1.
= > الأ لهه =  Al-Alihah. 
Sesuatu yang diyakini bisa mendatangkan kebaikan atau menolak keburukan selain Allah Subhana Wa Ta'ala.

2. 
=> الأ رباب = Al-Arbaab.  
Siapa saja yang membuat fatwa tentang urusan agama yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah.
 
3. => الأنداد  = Al-Andaad Apa saja atau siapa saja yang dapat memalingkan kecintaan kita kepada Allah Subhana Wa Ta'ala.

4. => الطواغيت  = At-Thawaaghiit 
 Apa saja atau siapa saja yang melampau batas.

Penjelasan Rukun Syahadat Petama Point 1: الأ لهه
"Sesuatu yang diyakini bisa mendatangkan kebaikan atau menolak keburukan selain Allah Subhana Wa Ta'ala."


Didalam kehidupan seorang muslim yang telah bersyahadat, apabila mereka masih memiliki keyakinan ada yang dapat mendatangkan kebaikan atau menolak keburukan selain Allah Subhana Wa Ta'ala, maka keyakinan seperti itu dapat merusak nilai kalimat syahadat yang ada pada dirinya, oleh karena itu tidak boleh lagi ada keyakinan didalam dirinya bahwa ada yang dapat mendatangkan kebaikan pada seseorang atau menolak kemudharatan dari seorang selain Allah Subhana Wa Ta'ala , agar kalimat syahadatnya tetap benar dalam pandangan Allah Subhana Wa Ta'ala.

Seharusnya hal tersebut menjadi keyakinan di dalam diri seorang mukmin bahwa tidak ada yang dapat memberikan kebaikan atau menolak keburukan kecuali Allah Subhana Wa Ta'ala. Karena sehebat apapun seseorang berusaha mencapai sebuah kebaikan atau berusaha sekuat tenaga untuk mengakhiri kemudharatan maka tidak akan pernah ia mampu melakukannya kecuali Allah Subhana Wa Ta'ala telah menentukan hal tersebut kepadanya.


QS. Taghabun (64) ayat 1:


maa ashaaba min mushiibatin illaa bi-idzni allaahi waman yu/min biallaahi yahdi qalbahu waallaahu bikulli syay-in 'aliimun

[64:11] Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. 

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tidak satu kejadianpun yang terjadi dialam raya ini kecuali Allah Subhana Wa Ta'ala menentukannya, dan kalau manusia mau beriman  bahwa hanya Allah Subhana Wa Ta'ala sajalah yang menentukan apapun yang terjadi pada dirinya niscaya Dia akan membimbing hati manusia menjadi selamat terhindar dari berbagai kegelisahan dan kesedihan.

QS. Al-Hadid (57) ayat 22-23



maa ashaaba min mushiibatin fii al-ardhi walaa fii anfusikum illaa fii kitaabin min qabli an nabra-ahaa inna dzaalika 'alaa allaahi yasiirun

[57:22] Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. 


likaylaa ta/saw 'alaa maa faatakum walaa tafrahuu bimaa aataakum waallaahu laa yuhibbu kulla mukhtaalin fakhuurin

[57:23] (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira1460 terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,

Catatan kaki 1460: yang dimaksud dengan terlalu gembira yang melampau batas yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan dan lupa kepada Allah Subhana Wa Ta'ala.

Ayat  ini pun menjelaskan bahwa tidak ada satu musibahpun yang terjadi pada diri seseorang maupun yang terjadi di alam raya ini kecuali atas izin Allah Subhana Wa Ta'ala dan bagi-Nya adalah mudah untuk mengatur semua peristiwa yang terjadi di alam raya ini. Oleh karena itu tidak bisa manusia memahami segala apa yang terjadi di alam raya ini dengan kesimpulan bahwa hal tersebut terjadi semata-mata karena fenomena alam atau hukum alam, karena keyakinan seperti itu menafikan peran Allah Subhana Wa Ta'ala. 

Dan apapun yang terjadi dalam hidup kita tidak boleh disikapi dengan berlebihan, tidak boleh terlalu bersedih hingga berlaru-larut dalam kesedihan atau juga tidak boleh terlalu bergembira sampai lupa daratan, karena semuanya sudah ditentukan oleh Allah Subhana Wa Ta'ala bagi hamba-hamba-Nya.

Ahlus sunnah wal jamaah memahami Kehendak Allah Subhana Wa Ta'ala (Iradah) terbagi terbagi atas:

1. إرادة الشرعية = Iradah Syar'iyyah
2. إرادة الكونية = Iradah Kauniyyah

Penjelasan   إرادة الشرعية = Iradah Syar'iyyah
-Bisa terjadi bisa pula tidak
-Hanya meliputi hal yang baik dan bermanfaat saja
-Konsekuensinya adalah mahabbah (kecintaan) Allah Subhana Wa Ta'ala, karena Allah Subhana Wa Ta'ala tidak menginginkan dengannya kecuali sesuatu yang dicintai-Nya, seperti ta'at dan pahala.

Penjelasan إرادة الكونية = Iradah Kauniyyah
-Pasti terjadi
-Meliputi hal yang baik atau jelek, yang bermanfaat dan yang berbahaya bahkan meliputi segala sesuatu.
-Tidak mengharuskan mahabbah (kecintaan) Allah Subhana Wa Ta'ala, terkadang Allah Subhana Wa Ta'ala menghendaki sesuatu yang tidak Dia cintai, tetapi dari hal tersebut akan lahir sesuatu yang dicintai-Nya, seperti penciptaan Iblis, segala yang jahat dan lainnya sebagai ujian dan cobaan, agar manusia menjaga diri dan melindungi dirinya dari maksiat dan dosa, agar tidak terjerumus dalam siksa neraka.

Pembahasan tentang Iradah Syar'iyyah dan Iradah Kauniyyah menjelaskan bahwa perkara-perkara yang terjadi dalam kehidupan manusia yang ditetapkan oleh Allah Subhana Wa Ta'ala adalah sebagai ujian bagi manusia, apakah manusia berhasil menghadapi ujian tersebut atau tidak, sehingga apabila ia berhasil mengadapi ujian tersebut, maka ia akan mendapatkan ganjaran pahala disisi Allah Subhana Wa Ta'ala, dan ketika gagal menghadapi ujian Allah Subhana Wa Ta'ala maka ia akan mendapatkan ganjaran siksa dari Allah Subhana Wa Ta'ala.

Karena manusia telah Allah Subhana Wa Ta'ala muliakan dengan dilengkapi padanya fungsi akal, untuk dapat berfikir dan memilih, tidak seperti makhluk lain, seperti hewan, tumbuhan, matahari, bulan dan sebagainya yang tidak delengkapi dengan fungsi akal bagi mereka tidak ada pilihan untuk ta'at atau ingkar kepada Allah Subhana Wa Ta'ala.  Maka tidak ada bagi mereka perhitungan amal karena itu pada mereka juga tidak dibebankan tugas menjalankan syariah Allah Subhana Wa Ta'ala, karena mereka diciptakan bukan untuk berfikir dan memilih  tetapi mereka diciptakan hanya untuk tunduk dengan ketentuan-ketentuan Allah Subhana Wa Ta'ala di dalam kehidupannya.

Berbeda dengan manusia yang telah disempurnakan dengan fungsi akalnya, karena itulah manusia mendapatkan tugas menjalankan syariah Allah Subhana Wa Ta'ala dalam kehidupannya, sehingga apabila mereka sukses menjalankan hidupnya berdasarkan syariah Allah Subhana Wa Ta'ala maka manusia dapat penghargaan kemuliaaan dari Allah Subhana Wa Ta'ala yang tidak diberikan kepada makhluknya yang lain, yaitu segala macam kenikmatan dalam surgaNya Allah Subhana Wa Ta'ala, akan tetapi ketika manusia tidak mengarahkan hidupnya dengan benar sebagaimana yang telah Allah Subhana Wa Ta'ala tetapkan atas mereka, maka akhirnya mereka akan mendapatkan konsekuensi hukum dari Allah Subhana Wa Ta'ala yang juga tidak diberikan kepada makhluk-Nya yang lain berupa siksa-Nya.
Kemudian berkenaan dengan Allah Subhana Wa Ta'ala sebagai pemegang segala macam urusan makhluk-Nya maka tidak ada yang dapat menjangkau ketetapan Allah Subhana Wa Ta'ala yang ditetapkan bagi hamba-hamba-Nya, kecuali hanya Allah Subhana Wa Ta'ala yang mengetahuinya, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pun tidak bisa menjangkau perkara-perkara yang ghaib kecuali apa-apa yang diwahyukan Allah Subhana Wa Ta'ala kepada beliau.
Tetapi ada ada sebagian manusia yang bekerjasama dengan para dukun dan paranormal untuk mencari-cari tentang masalah yang ghaib, termasuk didalamnya merekapun bekerjasama dengan jin.

QS. Al-Jin(72) ayat 9-10:

wa-annaa kunnaa naq'udu minhaa maqaa'ida lilssam'i faman yastami'i al-aana yajid lahu syihaaban rashadaan

[72:9] dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang1525 barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya). 



wa-annaa laa nadrii asyarrun uriida biman fii al-ardhi am araada bihim rabbuhum rasyadaan

[72:10] Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Rabb mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.

Catatan kaki 1525: yang dimaksud dengan sekarang, ialah waktu sesudah Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam diutus menjadi Rasul.

Ayat ini menceritakan bahwa Rahasia langit telah dijaga dengan baik oleh Allah Subhana Wa Ta'ala sehingga tidak ada yang dapat mengetahui tentang kabar-kabar rahasia masa depan yang akan terjadi, termasuk juga oleh bangsa jin sekalipun dimana mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui rahasia peristiwa akan datang dimana semua kebaikan dan keburukan yang akan terjadi hanya Allah Subhana Wa Ta'ala sajalah yang mengetahuinya.

Artinya  bangsa jin juga tidak memiliki kemampuan mendatangkan kebaikan dan menolak keburukan dari Allah Subhana Wa Ta'ala. Maka manusia-manusia yang bekerjasama dengan jin untuk meraih kebaikan atau menghindarkan dirinya dari sebuah keburukan pada dasarnya dia telah tertipu dengan keyakinannya, karena jin sendiri tidak mempunyai kemampuan melainkan apa yang telah Allah Subhana Wa Ta'ala tentukan pada dirinya dan jin juga tidak punya kemampuan mengetahui rahasia masa depan tentang apa yang akan terjadi dalam kehidupan ini, diantara buktinya adalah : 

QS. Saba (34) ayat 14:

falammaa qadhaynaa 'alayhi almawta maa dallahum 'alaa mawtihi illaa daabbatu al-ardhi ta/kulu minsa-atahu falammaa kharra tabayyanati aljinnu an law kaanuu ya'lamuuna alghayba maa labitsuu fii al'adzaabi almuhiini

[34:14] Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan. 

Dimasa Nabi Sulaiman 'Alaihi Salam, bangsa jin berada dibawah kekuasaannya, diperintahkan untuk bekerja dan melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh Nabi Sulaiman 'Alaihi Salam, dan ketika Nabi Sulaiman 'Alaihi Salam diwafatkan oleh Allah Subhana Wa Ta'ala mereka bangsa jin tidak mengetahui kalau  Nabi Sulaiman 'Alaihi Salam telah lama wafat, lantaran Nabi Sulaimana wafat dalam keadaan tegak berdiri bersandar dengan tongkatnya, sampai akhirnya Nabi Sulaiman 'Alaihi Salam jatuh tersungkur lantaran tongkatnya telah dimakan oleh rayap, hal itu jelas menunjukkan ketidak-tahuan jin akan perkara yang terjadi dihadapannya;

QS. Al- An'aam (6) ayat 59: 

wa'indahu mafaatihu alghaybi laa ya'lamuhaa illaa huwa waya'lamu maa fii albarri waalbahri wamaa tasquthu min waraqatin illaa ya'lamuhaa walaa habbatin fii zhulumaati al-ardhi walaa rathbin walaa yaabisin illaa fii kitaabin mubiinin

[6:59] Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" 

QS. Al-Jin(72) ayat 20-21:


qul innamaa ad'uu rabbii walaa usyriku bihi ahadaan

[72:20] Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya menyembah Rabb-ku dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya".

qul innii laa amliku lakum dharran walaa rasyadaan

[72:21] Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfa'atan". 

Sebagaimana dalam ayat tersebutpun dijelaskan bahwa Rassulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam juga tidak mampu mendatangkan kebaikan atau keburukan kepada manusia melainkan apa-apa yang telah Allah  Subhana Wa Ta'ala tentukan dan wahyukan kepadanya.

Maka kita harus meyakini bahwa Allah Subhana Wa Ta'ala yang menentukan kebaikan dan keburukan yang terjadi di alam ini, disamping ikhtiar yang harus tetap dilakukan oleh makhlukh-Nya.

QS. Ali Imran (3) ayat 54:


wamakaruu wamakara allaahu waallaahu khayru almaakiriina

[3:54] Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. 

Sehebat apapun seseorang mempunyai rencana jahat pada diri kita, maka hal itu tidak akan dapat berjalan rencananya tersebut tanpa izin Allah Subhana Wa Ta'ala, maka hal itu tidak mungkin akan terjadi karena semata-mata ikhtiar yang dilakukan oleh manusia.

 QS. Al-jumuah (62) ayat 8:

 
qul inna almawta alladzii tafirruuna minhu fa-innahu mulaaqiikum tsumma turadduuna ilaa 'aalimi alghaybi waalsysyahaadati fayunabbi-ukum bimaa kuntum ta'maluuna

[62:8] Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". 

Walaupun manusia berusaha sekuat tenaga untuk menghindari kematian, maka tetap tidak ada yang dapat menghindar dari kematian ketika ajalnya telah sampai kepadanya.  

QS. Ali Imran (3) ayat 26:

quli allaahumma maalika almulki tu/tii almulka man tasyaau watanzi'u almulka mimman tasyaau watu'izzu man tasyaau watudzillu man tasyaau biyadika alkhayru innaka 'alaa kulli syay-in qadiirun

[3:26] Katakanlah: "Wahai Allah Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Allah Subhana Wa Ta'ala adalah penentu segala sesuatu atas kehidupan ini, dan ditangan-Nya lah semua kebaikan dari apa yang telah ditetapkan kepada makhluk-Nya. Maka apapun yang terjadi dalam kehidupan manusia yang Allah Subhana Wa Ta'ala tentukan untuk makhluk-Nya pasti mengandung kebaikan di dalamnya  dan kebaikan yang Allah Subhana Wa Ta'ala tentukan bagi manusia tidak selalu kebaikan sebagaimana dalam persepsi manusia, karena Dia Yang Maha Tahu ketentuan seperti apa yang lebih baik bagi hamba-Nya.

QS. Al-Baqarah (2) ayat 216:


kutiba 'alaykumu alqitaalu wahuwa kurhun lakum wa'asaa an takrahuu syay-an wahuwa khayrun lakum wa'asaa an tuhibbuu syay-an wahuwa syarrun lakum waallaahu ya'lamu wa-antum laa ta'lamuuna


[2:216] Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Ayat ini menjelaskan bahwa kebaikan itu harus menurut pandangan atau penilaian dari Allah Subhana Wa Ta'ala bukan menurut sudut pandang manusia, sebab hanya Allah Subhana Wa Ta'ala lah Yang Maha Tahu, dan manusia tidak mengetahui apa-apa. Karena seringkali manusia mengukur kebaikan menurut persepsinya sendiri, sehingga dia tidak bisa menerima suatu keadaan yang Allah Subhana Wa Ta'ala tentukan kepadanya ketika keadaan itu tidak seperti yang dikehendakinya. 

QS. Fajr (89) ayat 15-16:

fa-ammaa al-insaanu idzaa maa ibtalaahu rabbuhu fa-akramahu wana''amahu fayaquulu rabbii akramani

[89:15] Adapun manusia apabila Rabb-nya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Rabb-ku telah memuliakanku"

wa-ammaa idzaa maa ibtalaahu faqadara 'alayhi rizqahu fayaquulu rabbii ahaanani

[89:16] Adapun bila Rabb-nya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Rabb-ku menghinakanku"1576

Catatan kaki 1576: Allah menyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16 tetapi sebenarnya KEKAYAAN DAN KEMISKINAN adalah ujian Rabb bagi hamba-hambaNya.

QS. At-Taubah (9) ayat 40:
illaa tanshuruuhu faqad nasharahu allaahu idz akhrajahu alladziina kafaruu tsaaniya itsnayni idz humaa fii alghaari idz yaquulu lishaahibihi laa tahzan inna allaaha ma'anaa fa-anzala allaahu sakiinatahu 'alayhi wa-ayyadahu bijunuudin lam tarawhaa waja'ala kalimata alladziina kafaruu alssuflaa wakalimatu allaahi hiya al'ulyaa waallaahu 'aziizun hakiimun

[9:40] Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Qura'n menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana643

Catatan kaki 643: maksudnya orang-orang kafir telah sepakat hendak membunuh Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam, maka Allah Subhana Wa Ta'ala memberitahukan maksud jahat orang-orang kafir itu kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Karena itu maka beliau keluar dengan ditemani oleh Abu Bakar dari Mekah dalam perjalanannya ke Madinah, beliau bersembunyi di suatu gua di bukit Tsur.

Ayat ini merupakan bukti bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam meyakini bahwa hanya Allah Subhana Wa Ta'ala sajalah pada akhirnya yang menentukan apakah seseorang akan mendapat keburukan pada dirinya.

Dimana ayat ini bercerita tentang  kisah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radiyallahu 'Anhu yang bersembunyi di dalam gua Tsur dalam perjalanan hijrahnya menuju Yatsrib (Madinah) yang dikejar oleh orang-orang kafir, dan keberadaan orang-orang kafir telah sangat dekat kepada mereka berdua, sehingga hal itu meng-kuatirkan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radiyallahu 'Anhu akan keselamatan diri Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam.

Namun karena keyakinan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam yang kuat bahwa Allah Subhana Wa Ta'ala yang menentukan segala sesuatu yang akan terjadi pada diri hamba-hamba-Nya, maka hal tersebut membuat Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam tetap tenang menghadapi kondisi yang genting sekalipun, dan hal seperti inilah yang harus tertanam kuat dalam diri seseorang disamping ikhtiar terbaik yang telah dilakukannya.Sehingga sikap seperti itulah yang membuat seseorang dapat mampu bertahan lebih baik dalam menghadapi ujian-ujian hidup. 


Penjelasan Point 2. "Siapa saja yang membuat fatwa tentang urusan agama yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah".
=>   الأ رباب = Al-Arbaab.  

 
Karena sikap kita yang benar adalah tidak boleh mengikuti orang alim secara membabi buta tanpa adanya daya kritis dalam menerima nilai-nilai yang datang dari padanya. Karena yang harus kita ikuti adalah nilai yang disampaikan, yaitu ketika nilai tersebut adalah benar dan bukan mengikuti figur pribadinya semata.

Oleh karena itu mengembangkan sikap terbuka, mau banyak bertanya, berdiskusi dan banyak membaca akan sangat membantu seseorang untuk membuka wawasan yang ada pada dirinya, dan terhindar dari sikap taqlid, yaitu mengekor membabi buta tanpa adanya daya kritis dalam menerima sebuah nilai.

Diantara rukun penolakan yang wajib diamalkan adalah menolak siapa saja yang berfatwa tentang perkara agama apabila fatwanya tersebut bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Karena jika tetap mengikuti fatwa-fatwa yang salah seperti itu, maka hal tersebut dapat menyebabkan nilai syahadat kita menjadi rusak.


QS. At-Taubah (9) ayat 31;

ittakhadzuu ahbaarahum waruhbaanahum arbaaban min duuni allaahi waalmasiiha ibna maryama wamaa umiruu illaa liya'buduu ilaahan waahidan laa ilaaha illaa huwa subhaanahu 'ammaa yusyrikuuna

[9:31] Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah639 dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah yang Esa, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.  

Catatan kaki 639: Maksudnya; mereka mematuhi ajaran-ajaran orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.

Ayat tersebut menjelaskan tentang perbuatan kaum yahudi dan nasrani yang mempertuhankan orang alimnya, yaitu mereka membenarkan semua perkataan orang alimnya meskipun fatwanya bertentangan dengan kitab mereka sendiri.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At Tirmidzi, dan Ibnu Jarir yang meriwatkan dari beberapa jalur dari Adi bin Hatim Radiyallahu 'Anhu, ketika Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam membacakan ayat tersebut kepadanya; 
Ia berkata kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam: "Mereka tidak beribadah kepadanya" Maka Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: " Ya, Para rahib itu mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, lalu mereka mengikutinya, itulah bentuk ber-ibadah kepadanya".

Sikap membenarkan semua perkataan orang alim tanpa melihat terlebih dahulu kepada nilai yang ada didalamnya apakah bersesuaian dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam atau tidak adalah sikap yang tidak benar menurut pandangan Allah Subhana Wa Ta'ala, karena yang di-ikuti dari seorang berilmu adalah ilmunya itu sendiri, apakah ilmu yang disampaikannya memiliki nilai kebenaran atau tidak menurut panduan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam.

Yang dimaksud dengan mempertuhankan orang alim bukan berarti kita rukuk dan sujud kepada mereka, tetapi kita mengikuti semua perkataan mereka walau hal itu bertentangan dengan Al-Qu'ran dan Sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Oleh karena itu jika ada sebuah nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka kita dilarang mengikutinya, begitupun sebaliknya apabila fatwa tersebut bersesuaian dengan petunjuk Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam maka wajiblah bagi kita semua untuk mengikutinya.

QS. Al-Isra' (17) ayat 36:


walaa taqfu maa laysa laka bihi 'ilmun inna alssam'a waalbashara waalfu-aada kullu ulaa-ika kaana 'anhu mas-uulaan

[17:36] Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

Ayat ini menjelaskan bahwa kita harus terikat dengan ilmu (larangan mengikuti sesuatu tanpa ilmu) karena Allah Subhana Wa Ta'ala akan meminta pertanggung jawaban atas semua amal yang telah kita lakukan, apakah amal-amal yang dikerjakan itu berdasarkan ilmu yang benar atau tidak.

Ciri orang alim  yang benar dalam pandangan Allah Subhana Wa Ta'ala adalah orang yang menghantarkan manusia kepada ilmu sehingga mereka bisa menjadi orang yang berilmu. Akhirnya manusia bisa mandiri dengan ilmu yang didapatkannya tanpa harus selalu bersandar kepada pribadi orang alimnya.

Ciri-orang alim yang benar adalah :

1.Orang yang menghantar manusia untuk terikat kepada ilmu atau nilai-nilai kebenaran, bukan kepada figurnya.
2. Menghantar manusia untuk menjadi generasi rabbani, yaitu generasi yang senantiasa belajar dan mengajarkan ilmu Allah Subhana Wa Ta'ala, serta tunduk dan patuhnya adalah hanya kepada Allah Subhana Wa Ta'ala, bukan tunduk kepada orang alimnya membabi buta.

QS. Ali Imran (3) ayat 79:


maa kaana libasyarin an yu/tiyahu allaahu alkitaaba waalhukma waalnnubuwwata tsumma yaquula lilnnaasi kuunuu 'ibaadan lii min duuni allaahi walaakin kuunuu rabbaaniyyiina bimaa kuntum tu'allimuuna alkitaaba wabimaa kuntum tadrusuuna

[3:79] Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani208, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. 

Catatan kaki 208: Orang yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah Subhana Wa Ta'ala.

Kisah ketika Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam wafat kemudian Umar bin Khattab Radiallahu 'Anhu merasa tidak rela dengan pernyataan manusia yang mengatakan bahwa Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wasallam sudah meninggal karena kecintaan beliau yang begitu besar kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, tetapi kemudian ia diingatkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq Radiallahu 'Anhu yang membacakan QS, Ali Imran (3) ayat 144, bahwa Rasul-rasul sebelum nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam pun juga meninggal dunia, maka keadaan tersebut haruslah bisa diterima oleh semua manusia, namun meskipun Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam telah meninggal, tetapi ajarannya masih tetap akan selalu ada di tengah-tengah kehidupan manusia. Itu artinya keterikatan kita kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam adalah bukan semata-mata terhadap jasad beliau tetapi kepda nilai yang telah beliau sampaikan, yang nilai tersebut akan senantiasa hidup ditengah kaum muslimin.

QS. Ali Imran(3) ayat 144 :

wamaa muhammadun illaa rasuulun qad khalat min qablihi alrrusulu afa-in maata aw qutila inqalabtum 'alaa a'qaabikum waman yanqalib 'alaa 'aqibayhi falan yadhurra allaaha syay-an wasayajzii allaahu alsysyaakiriina

[3:144] Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul234. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. 

Catatan kaki 234, Maksudnya : Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam ialah seorang manusia yang diangkat Allah menjadi rasul. Rasul-rasul sebelumnya telah wafat, ada yang wafat karena terbunuh ada pula yang karena sakit biasa, karena itu Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam juga akan wafat seperti halnya Rasul-rasul yang terdahulu itu.

Di waktu berkcamuknya perang Uhud, tersiarlah berita bahwa Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam mati terbunuh. Berita ini mengacaukan kaum muslimin sehingga ada yang bermaksud meminta perlindungan kepada Abu Sufyan (pemimpin kaum Quraisy).

Sementara itu orang-orang munafik mengatakan bahwa kalau Nabi Muhammad itu seorang Nabi tentulah Dia tidak akan mati terbunuh. Maka Allah menurunkan ayat ini untuk menentramkan hati kaum muslimin dan membantah kata-kata  orang-orang munafik itu (Shahih Bukhari Bab Jihad).

Abu Bakar Radiallahu 'Anhu mengemukakan ayat ini di mana terjadi pula kegelisahan di kalangan para sahabat di hari wafatnya Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam untuk menenteramkan Umar Ibnul Khaththab Radiallahu 'Anhu dan sahabat-sahabat yang tidak percaya tentang kewafatan Nabi itu (Shahih Bukhari, Bab Ketakwaan Sahabat).

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam itu hanyalah seorang manusia yang pasti akan mengalami kematian, tetapi ajarannya mesti tetap kita ikuti meskipun jasad Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam sudah tidak bersama kaum muslimin lagi.
 

Mengapa kita tidak boleh terikat membabi buta kepada figur pribadi manusia, tetapi harus terikat dengan nilai kebenaran yang ada?,  hal itu terjadi karena manusia itu tidak ada yang bersifat ma'shum (terpelihara dari kesalahan) kecuali Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, tatkala Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam melakukan sebuah kesalahan maka Beliau langsung mendapatkan pengarahan dari Allah Subhana Wa Ta'ala untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya, sehingga beliau selalu terbimbing oleh wahyu, berbeda dengan manusia lainnya yang tidak mendapatkan wahyu, maka suatu saat seorang manusia bisa melakukan kesalahan dan bersikap tidak baik,

Maka ketika kita bersandar kepada figur pribadinya semata tanpa melihat nilai yang ada didalamnya, maka hal tersebut dapat menyebabkan suatu saat timbulnya kekecewaan, lantaran adanya tidak kesempurnaan pada sisi manusianya, tetapi tidak demikian manakala kita bersandar terhadap sebuah nilai kebenaran, karena nilai kebenaran tidaklah berubah tetapi manusianya itulah yang dapat berubah.


Contoh hal tersebut adalah sebagaimana yang biasa terjadi pada ulama-ulama besar,  sekalipun terjadi perubahan-perubahan pada dirinya seiring dengan berkembangnya ilmu dan pemahaman yang ada pada dirinya, Sebagaimana Imam Syafi'i yang menyusun tulisan tentang Qaulul Jadid ( perkataan yang baru) dan Qaulul Qadim (perkataan yang lama), dimana qoulul jadid berisi evaluasi terhadap tulisan dan pemikirannya yang tedahulu.

QS. An-Najm (53)ayat 3-4:
wamaa yanthiqu 'ani alhawaa

[53:3] dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quraan) menurut kemauan hawa nafsunya.
in huwa illaa wahyun yuuhaa

[53:4] Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). 

Berbeda dengan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam yang selalu berkata dan berbuat berdasarkan wahyu (dibimbing oleh Allah Subhana Wa Ta'ala), sehingga apabila suatu saat melakukan kesalahan maka wahyu akan disampaikan untuk memperbaiki  kesalahan yang dibuat.

Fungsi dan peran orang alim adalah sebagai penghantar ilmu yang benar kepada manusia, dan Islam mengajarkan umatnya menjadi umat yang kritis dalam mensikapi ilmu yang datang kepadanya agar mereka senantiasa melandaskan amalnya tegak di atas ilmu yang benar.

Ketika kita mengkultuskan seseorang dalam bersandar terhadap sebuah nilai, maka suatu saat kita akan mengalami frustasi dan rasa kecewa pada dirinya ketika yang difigurkannya melakukan kesalahan, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna, suatu saat akan sangat mungkin melakukan kesalahan dan kekeliruan,  oleh karena itu pribadi seseorang tidak dapat dijadikan sandaran yang kuat didalam membangun sebuah nilai kebenaran, Ali bin Abi Thalib Radiallahu 'Anhu berkata: "Kenalilah kebenaran, maka engkau akan mengenal pelakunya"

Kita akan mampu bersikap dengan baik ketika kita bersandar pada ilmu, sebagaimana para sahabat yang mampu tegak menyebarkan dan menegakkan syariat Allah Subhana Wa Ta'ala dimuka bumi ini walau Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam sudah tidak bersama mereka lagi.

Cara Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam mendidik para sahabat:


QS. Yusuf(12) ayat 108:
 

qul haadzihi sabiilii ad'uu ilaa allaahi 'alaa bashiiratin anaa wamani ittaba'anii wasubhaana allaahi wamaa anaa mina almusyrikiina

[12:108] Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". 

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam diperintahkan untuk menunjukkan jalan kepada manusia yaitu jalan yang mengajak mereka hanya tunduk dan patuh kepada Allah Subhana Wa Ta'ala, dimana jalan itu berada di atas hujjah yang nyata  (berada diatas dalil atau keterangan yang kuat yang tidak terbantahkan)  dimana jalan itu harus ditempuh dengan ilmu. Maka begitu pulalah seharusnya yang dijalankan oleh kaum muslimin didalam memahami dan mengamalkan Islam, yaitu harus diatas hujjah yang nyata, bukan berdasarkan perasaan atau dugaannya semata.

DR. Muhammad Hasan Al Hamsiy menjelaskan dalam Kitab Tafsir wa Bayan Mufrodatil Qur'an tentang mankna على بصيرة
(diatas hujjah yang nyata) dalam ayat tersebut dengan pengertian: 


1.على معرفة(diatas sebuah pengenalan)
2. على يقين.(diatas sebuah keyakina)
3. على تحقين (diatas sebuah hakikat)

Cara kita menuntut ilmu adalah dengan mengkaji ilmu yang didapat dan melihat nilai kebenaran yang ada didalamnya serta memperhatikan dalil-dalil dan argumentasi yang menyertainya. Sehingga kita tidak  selalu dibingungkkan oleh para pelaku yang mengamalkan sebuah perbuatan yang berbeda beda bentuk pengamalannya yang sering amalan itu disandarkan kepada orang alimnya semata. Cukup kita menilai dengan melihat nilai-nilai yang disampaikannya kemudian menguji dalil dan argumentasi yang ada di dalamnya, dengan mau banyak bertanya,  berdiskusi, membaca buku, dan selalu bersifat terbuka dalam menerima perbaikan-perbaikan.

Sikap orang alim yang benar pasti akan menjelaskan atau menerangkan tentang sebuah persoalan dengan didasarkan kepada ilmu yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan keilmuannya, tanpa ada yang ditutup-tutupi atau dimanipulasi, dan keterangan-keterangan merka siap untuk diuji kebenarannya.

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

"Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang apabila kalian berpegang kepada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah(Al-Qur'an) dan Sunnah Rasul-Nya".
 

(Hadist Shahih Lighairihhi, H.R. Malik; Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm)

Dalam hadist Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam tersebut kita diberikan panduan atau parameter untuk menghindarkan diri kita dari kesesatan, yaitu mau berpegang kepada Kitabullah yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallama, dimana pemahaman atas Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam juga sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat, bukan berdasarkan pemahaman masing-masing individu, dimana Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda bahwa hadist yang diriwayatkan dari Abi Nujaih 'Irbadl bin Sariyyah raddliyallaahu 'anhu;

"Orang-orang yang hidup sepeninggal kalian akan melihat pertentangan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigit (pegang erat) sunnah tersebut dengan gigi geraham. Tinggalkanlah hal-hal yang baru, karena setiap bid'ah adalah sesat"
 

(Diriwayatkan oleh Abu Daud N0. 4607; At-Tarmidzi No. 2676; Ahmad 4/126-127; Ad-Darimi 1/44; Ibnu Majah No. 43-44; Ibnu Abi 'Ashim dalam As-Sunnahh no. 27; Ath-Thahawi dalam Asy-Syarh Muskilil-Atsar 2/69; Al-Baghawi no.102; Al-Ajjuri dalam Asy-Syari'ah hal.46; Al-Baihaqi 6/541; Al-Lalika'i dalam Ushulul-I'tiqad no.81; Al-Marwadzi dalam As-Sunnah no. 69-72; Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 5/220-10/115; dan Al-Hakim 1/95-97. Hadist tersebut berkualitas shahih)

Sehingga para ulamapun tida terlepas untuk selalu menisbahkan kepada para sahabat tentang pemahaman terhadap dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, karena para sahabatlah yang paling memahami maksud dan penerapan Kitabullah dan sunnah RasulNya di dalam kehidupan, sehingga kita memiliki rujukan yang kuat didalam membangun pemahaman dan amal didalam Islam. Sehingga apapun yang kita hadapi dalam hidup ini selalu kita berupaya merujuk kepada dua hal tersebut agar kita tidak menjadi salah langkah didalam berkata dan berbuat.

Tetapi realita pada hari ini yang terjadi dalam masyarakat adalah, mereka memiliki ukuran kebenaran dengan mengikuti HUKUM MAYORITAS atau PENDAPAT KEBANYAKAN yang dilakukan oleh masyarakat, yang sebenarnya hukum mayoritas tidak dapat dijadikan ukuran mutlak untuk menilai sebuah kebenaran.

QS. Al-An'aam(6) ayat 116;


wa-in tuthi' aktsara man fii al-ardhi yudhilluuka 'an sabiili allaahi in yattabi'uuna illaa alzhzhanna wa-in hum illaa yakhrushuuna

[6:116] Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)500

Catatan kaki 500: Maksudnya seperti menghalalkan memakan apa-apa yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan Allah, menyatakan bahwa Allah mempunyai anak.

Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa kebanyakan manusia atau HUKUM MAYORITAS tidaklah dapat dijadikan sebagai sandaran untuk menentukan sebuah nilai kebenaran, karena realita yang ada adalah bahwa kebanyakan manusia adalah kalangan awam, sementara orang-orang berilmu selalu berjumlah minoritas sepanjang masa. Maka mengikuti pendapat kebanyakan manusia dalam berbuat dan bersikap sama artinya dengan menyandarkan diri kepada kalangan awam dari ummat ini.

Contoh persoalan yang terjadi ditengah masyarakat adalah  bagaimana sudut pandang mayoritas kaum muslimin memandang tentang kasus terorisme. Dimana penilaian tentang terorisme yang berkembang sekarang ini adalah berdasarkan persepsi yang dimiliki oleh orang kafir yang disebarluaskan dengan menggunakan kekuatan media massa yang mereka miliki, sehingga kesimpulan mayaoritas kaum muslimin yang terbentuk juga mengikuti opini yang dibuat oleh orang kafir, yaitu setiap orang Islam yang melakukan jihad membela agamanya dengan menggunakan senjata adalah teroris, tetapi ketika aksi bersenjatata itu dilakukan oleh orang kafir mereka sebut sebagi pejuang bukan sebagai teroris, walau motivasi yang mereka lakukan adalah memperjuang tegaknya kebatilan.

Ada pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah Rojaal bin Unfuwah yaitu seseorang yang diutus oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam untuk berda'wah kepada penduduk Yamamah dimana ada Musailamah Al Kadzab (Si Nabi Palsu) tinggal disana. Dimana Rojaal bin Unfuwah diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk mengingatkan masyarakat akan kesesatan Musailamah Al Kadzab, dan meminta agar Musailamah Al Kadzab bertaubat dari perbuatannya, tetapi yang terjadi justru Rojall bin Unfuwah membenarkan kenabian Musailamah Al Kadzab tadi. Akhirnya terjadilah kegemparan di tengah masyrakat karena utusan yang dipercaya oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam malah berkhianat padanya. Peristiwa itu adalah merupakan contoh tentah Figur seseorang yang sewaktu-waktu dapat berubah melakukan kesalahan pada dirinya.

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pun dilarang oleh Allah Subhana Wa Ta'ala untuk membuat fatwa dalam urusan agama sekehendak hatinya, terlebih lagli manusia yang lain, tentu lebih tidak pantas untuk membuat urusan tentang perkara agama ini semaunya.

QS. An-Nahl (16) ayat 116;


walaa taquuluu limaa tashifu alsinatukumu alkadziba haadzaa halaalun wahaadzaa haraamun litaftaruu 'alaa allaahi alkadziba inna alladziina yaftaruuna 'alaa allaahi alkadziba laa yuflihuuna


[16:116] Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.

Seringkali motivasi yang mendasari manusia sehingga mereka membuat-buat sendiri aturan agama serta hukum  dan aturan bagi masyarakat dalam hidupnya adalah karena kepentingan dunia, popularitas, jabatan, sehingga mereka merubah-ubah HUKUM ALLAH SUBHANA WA TA'ALA, yang telah ditetapkan, maka semua apa yang telah mereka buat tidak mendapatkan nilai sedikitpun dihadapan Allah Subhana Wa Ta'ala kecuali hanya kesenangan dunia yang tidak seberapa.

Menjadi fitnah yang amat besar ditengah kehidupan manusia ketika yang membuat-buat hukum itu adalah dari kalangan orang alimnya, sehingga banyak sekali kalangan awamnya menjadi terpedaya, hal seperti inilah yang harus disikapi dengan cermat oleh kam muslimin sehingga mereka tidak mudah terpedaya dan menimbulkan perpecahan dikalangan kaum muslimin lantaran pengkultusan mereka kepada orang alimnya secara berlebihan.
 

Al-Baqarah (2) ayat 79:

 
fawaylun lilladziina yaktubuuna alkitaaba bi-aydiihim tsumma yaquuluuna haadzaa min 'indi allaahi liyasytaruu bihi tsamanan qaliilan fawaylun lahum mimmaa katabat aydiihim wawaylun lahum mimmaa yaksibuuna

[2:79] Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. 

Bahkan kita akan dituduh melakukan perbuatan syirik oleh Allah Subhana Wa Ta'ala ketika kita melakukan sebuah amal atau menta'ati sesuatu yang tidak berlandaskan pada syariah Allah Subhana Wa Ta'ala, tetapi menyandarkannya semata-mata karena perkataan, logika, ratio, dan hawa nafsu manusia, yaitu yang disebut dengan syirkut tho'ah (syirik dalam perkara keta'atan), karena ada yang lebih dita'ati selain Allah Subhana Wa Ta'ala.

QS. Asy-Syura (42) ayat 21: 



 
am lahum syurakaau syara'uu lahum mina alddiini maa lam ya/dzan bihi allaahu walawlaa kalimatu alfashli laqudhiya baynahum wa-inna alzhzhaalimiina lahum 'adzaabun aliimun

[42:21] Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. 

Dalam perkara ibadah sikap yang benar dalam menjalankan sebuah amal adalah menunggu sampai ada dalil yang memerintahkannya. Karena hukum asal segala macam bentuk peribadahan adalah haram sampai adanya dalil yang memerintahkan kita untuk mengerjakan sebuah amal ibadah itu sendiri.

"Hukum asal dari ibadah adalah batal, hingga tegak dalil(argument) yang memerintahkannya"

(Imam As Suyuthi, dalam Al-Asyba' wan Nadhoir 44 dan Ibny Qoyyim Al-Jauziyah dalam I'lamul Muwaqi'ien Juz 1 hal 344, Dar Al Fikr, Beirut)

QS. Al Hasyr (59) ayat 7:


maa afaa-a allaahu 'alaa rasuulihi min ahli alquraa falillaahi walilrrasuuli walidzii alqurbaa waalyataamaa waalmasaakiini waibni alssabiili kay laa yakuuna duulatan bayna al-aghniyaa-i minkum wamaa aataakumu alrrasuulu fakhudzuuhu wamaa nahaakum 'anhu faintahuu waittaquu allaaha inna allaaha syadiidu al'iqaabi

[59:7] Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. 

Contoh perkara amal ibadah dalam ayat ini adalah tentang perkara fa'i, yaitu harta rampasan perang yang diperoleh tanpa terjadinya pertempuran lantaran musuh telah lari terlebih dahulu meninggalkan segala macam perbendaharaannya. Maka apa saja harta rampasan perang yang diperoleh itu ada mekanisme pembagian-nya berdasarkan syariat, dan dalam ayat ini juga disebutkan juga prinsip tentang ibadah, yakni apa yang Rasul perintahkan kerjakan dan apa yang dilarang tinggalkan. Jadi ketika tidak ada perintah dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam tentang  sebuah bentuk pelaksanaan amal maka tidak boleh dikerjakan bentuk amal tersebut. 

Penjelasan Point 3: "Apa saja atau siapa saja yang dapat memalingkan kecintaan kita kepada Allah Subhana Wa Ta'ala"
=> الأنداد  = Al-Andaad

Didalam diri orang orang yang sudah bersyahadat tidak boleh lagi ada sesuatu yang dapat memalingkan kecintaannya dari Allah Subhana Wa Ta'ala, bahwa kecintaan terbesar manusia hanyalah kepada Allah Subhana Wa Ta'ala semata. Ketika dalam hidup seseorang yang telah bersyahadat masih ada yang lebih ia cintai selain Alllah Subhana Wa Ta'ala sehingga memalingkan kecintaan-nya dari Allah Subhana Wa Ta'ala maka hal itu akan dapat merusak nilai kalimat syahadat yang telah diucapkannya.

Tetapi realitanya banyak orang yang telah bersyahadat ternyata didalam kehidupannya mereka lebih mencintai yang lain selain dari Allah Subhana Wa Ta'ala, buktinya adalah dimana manusia lebih mengutamakan atau memprioritaskan yang lain selain perintah Allah Subhana Wa Ta'ala, padahal belum tentu yang kita cintai selain Allah Subhana Wa Ta'ala  itu bisa membalas cinta yang manusia berikan dengan baik, maka suatu ketika manusia pasti akan mengalami kekecewaan dan penyesalan pada dirinya ketika yang dicintainya itu tidak mampu membalas cinta yang telah diberikannya. 

Berbeda ketika manusia memberikan cintanya yang terbesar hanya kepada Allah Subhana Wa Ta'ala, maka Dia tidak akan pernah mengecewakan hamba-Nya lantaran Allah  Subhana Wa Ta'ala pasti membalas cinta hamba-Nya jauh lebih besar dari apa yang telah diberikan seorang hamba kepada Allah Subhana Wa Ta'ala.

QS. Al-Baqarah(2) ayat 165-167;
 

wamina alnnaasi man yattakhidzu min duuni allaahi andaadan yuhibbuunahum kahubbi allaahi waalladziina aamanuu asyaddu hubban lillaahi walaw yaraa alladziina zhalamuu idz yarawna al'adzaaba anna alquwwata lillaahi jamii'an wa-anna allaaha syadiidu al'adzaabi

[2:165] Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu106 mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

Catatan kaki  106: Yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah Allah Subhana Wa Ta'ala.
 
Diantara manusia ada yang menjadikan tandingan dalam masalah kecintaan kepada Allah Subhana Wa Ta'ala. Ketika manusia mencintai sesuatu sama seperti mencintai Allah Subhana Wa Ta'ala itu sama artinya mereka sedang menjadikan selain Allah Subhana Wa Ta'ala itu sebagai tandingan, apalagi ketika manusia mencintai sesuatu lebih besar daripada kecintaannya kepadaNya, maka hal itu lebih sesat lagi nilainya dihadapan Allah Subhana Wa Ta'ala.
 
Ketika di dunianya manusia lebih cinta kepada selain Allah Subhana Wa Ta'ala maka diakhirat kelak Dia akan menyuruh manusia yang tidak cinta kepada diriNya untuk meminta pertolongan kepada yang lebih dicintainya itu untuk menyelamatkan mereka dari siksa Allah Subhana Wa Ta'ala  dan Dia hanya akan   menolong dan membela orang-orang yang pada waktu didunia kecintaannya kepada Allah Subhana Wa Ta'ala sangat besar.
 
Pada hari akhirat orang-orang yang saling mencintai begitu kuatnya ketika mereka berada didunia, pada hari itu akan saling berlelpas diri, tidak lagi bisa saling tolong menolong, bela membela satu sama lain, karena masing-masing sibuk sibuk menyelamatkan dirinya dari siksa dan adzab Allah Subhana Wa Ta'ala, maka di akhirat kelak akan terputuslah segalam macam sebab apapun yang pernah terjadi ketika manusia membangun kecintaannya selama didunia. Tidak lagi ada yang bisa memberikan pembelaan kepada mereka, sementara yang mampu membela manusia pada hari itu hanyalah Allah Subhana Wa Ta'ala. Akhirnya manusia , menyesali akibat dari perbuatan-perbuatannya itu selama di dunia, karena telah salah membangun kecintaan dalam diriNya.
 
Dalam hidup seorang muslim tidak boleh ada yang kita cintai melebihi cinta kita kepada Allah Subhana Wa Ta'ala. Yang lain boleh dicintai oleh manusia dengan motivasi dalam rangka untuk dapat lebih mendekatkan diri dan menambah kecintaan manusia kepada Allah Subhana Wa Ta'ala, bukan justru mencintainya dalam rangka untuk semakin menjauhkan diri dari Allah Subhana Wa Ta'ala.
 
Maka manusia harus berhati-hati dalam membangun sikapnya terhadap perkara kecintaan ini. Dimana manusia harus mampu menempatkan kecintaanya dengan benar terhadap Allah Subhana Wa Ta'ala, dan manusia harus berhati-hati terhadap perkara-perkara yang bisa membuat manusia tergelincir di dalam memberikan kecintaan kepadaNya atau menyebabkan manusia bisa berpaling kecintaannya dari Allah Subhana Wa Ta'ala.
 
QS. At-Taubah (9) ayat 24:




qul in kaana aabaaukum wa-abnaaukum wa-ikhwaanukum wa-azwaajukum wa'asyiiratukum wa-amwaalun iqtaraftumuuhaa watijaaratun takhsyawna kasaadahaa wamasaakinu tardhawnahaa ahabba ilaykum mina allaahi warasuulihi wajihaadin fii sabiilihi fatarabbashuu hattaa ya/tiya allaahu bi-amrihi waallaahu laa yahdii alqawma alfaasiqiina

[9:24] Katakanlah: "jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalanNYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Di dalam ayat ini Allah Subhana Wa Ta'ala menyebutkan secara detil perkara-perkara yang bisa membuat  manusia tergelincir dalam memberikan kecintaan kepada Allah Subhana Wa Ta'ala . Bahwa ada 8 perkar yang biasa menjadi sebab manusia salah dalam bersikap membangun kecintaannya;
-Orang tua -Anak
-Saudara
-Pasangan
-Keluarga
-Harta Kekayaan
-Pekerjaan
-Rumah/Tempat tinggal

Dimana hal-hal tersebut tidak boleh mengalahkan manusia dalam 3 perkara lain yang harusnya lebih kita cintai ;
-Allah Subhana Wa Ta'ala
-Rasul-Nya
-Jihad

Jika kita lebih mencintai perkara-perkara keduniaan daripada kecintaan kita kepada Allah, Rasul dan Jihad fi sabilillah maka kita akan termasuk kedalam golongan orang-orang yang fasik, yaitu orang-orang yang telah tusak nilai kecintaannya kepada Allah Subhana Wa Ta'ala.

Kita harus berusaha agar perkara keduniaan tadi tidak membuat kita makin jauh dari Allah Subhana Wa Ta'ala. Padahal Dia lah yang telah memberikan berbagai macam pemberian dan nikmat pada manusia agar manusia bisa menjadi makin dekat dan taat kepadaNya. Tetapi realitanya banyak manusia menjadikan berbagai macam pemberian dari Allah Subhana Wa Ta'ala tadi justru sebagai penghalang dari menjalankan ketaatan kepadaNya. Oleh karena itu agar manusia tidak selalu terhalang dalam menjalankan ketaatannya kepada Allah Subhana Wa Ta'ala maka harus mengkondisikan perkara-perkara keduniaannya agar mereka bisa menjadi pendukung dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Subhana Wa Ta'ala, Rasul dan perjuangan menegakkan Islam.
 
Perkara-perkara keduniaan yang telah Allah Subhana Wa Ta'ala berikan kepada manusia sebenarnya adalah anugrah dari-Nya supaya manusia menjadi semakin taat kepadaNya, RasulNya, dan aktif dalam perjuangan Islam, namun apabila manusia tidak bisa mengkondisikan keduniaannya tersebut maka semua anugrah yang telah Allah Subhana Wa Ta'ala berikan itu dapat berubah menjadi adzab sehingga menjadikan kita kufur terhadap nikmat-nikmat yang Allah Subhana Wa Ta'ala telah berikan kepada kita. 
 
QS. Ibrahim (14) ayat 28-30:


alam tara ilaa alladziina baddaluu ni'mata allaahi kufran wa-ahalluu qawmahum daara albawaari
[14:28] Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar ni'mat Allah789 dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?,

Catatan Kaki 789: Yang dimaksud dengan nikmat Allah disini ialah perintah-perintah dan ajaran-ajaran Allah Subhana Wa Ta'ala.



jahannama yashlawnahaa wabi/sa alqaraaru
[14:29] yaitu neraka jahannam; mereka masuk kedalamnya; dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman. 
 

waja'aluu lillaahi andaadan liyudhilluu 'an sabiilihi qul tamatta'uu fa-inna mashiirakum ilaa alnnaari

[14:30] Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: "Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka".    

Perbuatan yang termasuk dalam kategori menukar nikmat Allah dengan keingkaran adalah ketika mereka menjadikan "selain" Allah Subhana Wa Ta'ala sebagai tandingan yang lebih mereka cintai, taati, takuti dari pada Allah Subhana Wa Ta'ala , maka hal seperti ini dipandang kafir dalam ktabullah. Itu artinya manusia sedang menggiring dirinya menuju neraka jahannam, sebagai tempat tinggal yang paling buruk, maka Allah Subhana Wa Ta'ala akan membiarkan mereka dalam kesesatan di dunia dan akan menjadikan tempat kembali mereka kelak adalah neraka jahannam.

Diantara bentuk sikap lebih cinta dunia daripada akhirat adalah ketika manusia lebih memprioritaskan urusan-urusan dunianya dibandingkan urusan akhiratnya, sehingga urusan agama Allah Subhana Wa Ta'ala  selalu menjadi perkara yang dikorbankan demi mempertahankan urusan duniawinya.
 
Maka ketika kecintaan manusia lebih besar kepada selain Allah Subhana Wa Ta'ala perbuatan tersebut termasuk dalam kategori perbuatan kafir yang bisa membatalkan iman seseorang meskipun seseorang masih melakukan beberapa ketaatan dalam kehidupannya, karena hal tersebut termasuk dalam bentuk syirkul mahabbah(syirik kecintaan) yang bernilai kekufuran sehingga akan menghapus amal-amal yang dikerjakannya lantaran perbuatan syirik yang dilakukannya.

QS. Ibrahim (14) ayat 2-3:
 
allaahi alladzii lahu maa fii alssamaawaati wamaa fii al-ardhi wawaylun lilkaafiriina min 'adzaabin syadiidin

[14:2] Allah-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih,
alladziina yastahibbuuna alhayaata alddunyaa 'alaa al-aakhirati wayashudduuna 'an sabiili allaahi wayabghuunahaa 'iwajan ulaa-ika fii dhalaalin ba'iidin

[14:3] (yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.

Diantara ciri orang munafiq adalah mereka hanya mau memberikan ketaaaatan itu apabila  ketaatan itu tidak mengganggu kepentingan dunia mereka atau hanya mau bila ketaatan itu mendatangkan kebaikan bagi kepentingan dunianya saja. Sedangkan bila dalam menjalankan ketaatan itu ia mendapatkan kesusahan dan kesulitan dalam urusan dunianya maka ia tidak mau melaksanakan ketaatan itu.
 

Padahal seharusnya manusia wajib menunjukkan ketaatan yang benar kepada Allah Subhana Wa Ta'ala, yaitu ketaatan dengan tidak memilih-milih dari perintah yang telah ditetapkan oleh Allah Subhana Wa Ta'ala kepada manusia. Tidak seperti orang munafiq yang melakukan amal-amal dalam kehidupannya hanya apabila mendatangkan keuntungan dunianya saja bukan dalam rangka mencari pahala disisi Allah Subhana Wa Ta'ala.

Hal itu terjadi karena orang munafiq sangat cinta terhadap dunia, sehingga mereka punya sifat merasa memiliki terhadap perbendaharaan dunia yang ada pada mereka, padahal semua yang ada di langit dan di bumi pada hakikatnya adalah milik Allah Subhana Wa Ta'ala.

Maka manusia tidak boleh punya sikap merasa memiliki didalam dirinya, tetapi sikap yang benar adalah merasa diamanahi, bahwa segala macam apa yang ada pada diri manusia pada hakikatnya adalah amanah (titipan) dari Alllah Subhana Wa Ta'ala  , dan manusia berkewajiban untuk menjaga semua amanah itu tetap dalam kondisi yang baik, sampai semua amanah tersebut diambil kembali oleh Sang Pemilik, sehingga mereka bisa mempertanggung jawabkan semua amanah yang telah dititikan Allah Subhana Wa Ta'ala kepadanya.
 

QS. An-Nur(24) ayat 47-50: 


wayaquuluuna aamannaa biallaahi wabialrrasuuli wa-atha'naa tsumma yatawallaa fariiqun minhum min ba'di dzaalika wamaa ulaa-ika bialmu/miniina

[24:47] Dan mereka berkata: "Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami mentaati (keduanya)." Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.


wa-idzaa du'uu ilaa allaahi warasuulihi liyahkuma baynahum idzaa fariiqun minhum mu'ridhuuna

[24:48] Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah1045 dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.

Catatan Kaki 1043: Maksudnya dipanggil untuk bertahkim (berhukum) kepada kitabullah.

wa-in yakun lahumu alhaqqu ya/tuu ilayhi mudz'iniina

[24:49] Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh.


afii quluubihim maradhun ami irtaabuu am yakhaafuuna an yahiifa allaahu 'alayhim warasuuluhu bal ulaa-ika humu alzhzhaalimuuna

[24:50] Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim. 

Didalam ayat tersebut diterangkan bahwa orang-orang munafiq menyatakan didalam hidupnya bahwa mereka beriman pada Allah Subhana Wa Ta'ala dan RasulNya tetapi setelah menyatakan pernyataannya tersebut kemudian mereka berpaling dari pernyataan keimanannya. 

Akhirnya keimanan mereka tertolak oleh Allah Subhana Wa Ta'ala. karena setelah pernyataan keimanannya itu kemudian mereka diajak untuk berhukum dengan hukum Allah Subhana Wa Ta'ala namun mereka menolak untuk datang dan melaksanakannya. Tetapi jika perintah itu bisa mendatangkan kebaikan bagi kepentingan dunianya barulah mereka mau datang dan menjalankan ketaatan.

Kecintaan kepada Allah Subhana Wa Ta'ala yang benar adalah tetap dalam ketaatan kepada Nya meskipun harus mengorbankan kepentingan dunia kita. Hal ini untuk membuktikan pembenaran cinta kita kepada Allah Subhana Wa Ta'ala, mesipun kita harus kehilangan berbagai macam kepentingan dunia kita. Itulah kecintaan yang hakiki, yang menuntut banyak pengorbanan dari yang mencintai kepada yang dicintainya, dan manusia harus membuktikan bahwa kecintaanya kepada Allah Subhana Wa Ta'ala berada diatas segala-galanya.

Cinta yang benar adalah kecintaan yang mampu menghantarkan diri kita makin dekat dan taat kepada Allah Subhana Wa Ta'ala, sebagaimana Nabi Ibrahim 'Alaihi Salam yang berhasil membuktikan kecintaannya kepada Allah Subhana Wa Ta'ala sehingga mampu melaksanakan apapun ketaatan yang diperintahkan oleh Nya kepada dirinya demi meraih ridha Allah Subhana Wa Ta'ala semata, sebagaimana juga yang dilakukan oleh para sahabat Rasululullah Salallahu 'Alaihi Wasalam, mereka mengorbankan hidupnya untuk membuktikan ketaatan mereka kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Salam dan besarnya cinta mereka kepada Allah Subhana Wa Ta'ala demi meraih ridhaNya.

QS. Al-Baqarah (2) ayat 207:


wamina alnnaasi man yasyrii nafsahu ibtighaa-a mardaati allaahi waallaahu rauufun bial'ibaadi

[2:207] Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.
Ayat ini   menceritakan kisah para sahabat Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Salam yang melakukan perjalanan hijrah. Dimana ayat itu menggambarkan betapa besarnya cinta mereka terhadap Allah Subhana Wa Ta'ala dan Rasulnya, sehingga apapun perintah dari yang dicintainya mereka mengikutinya meskipun perintah itu terasa berat bahkan bertentangan dengan kepentingan dunianya.

Ujian dari kecintaan yang ada dalam diri kita kita yaitu ketika kita dihadapkan kepada dua kepentingan yang sama dalam waktu bersamaan, yaitu ketika kepentingan dunia dan kepentingan akhirat datangnya berbarengan , maka pada saat itu manusia harus mampu mensikapinya dengan benar dalam menentukan skala prioritasnya terhadap pilihan yang ada.

Manusia yang cinta kepada dunia secara berlebihan maka akan selalu berusaha untuk mencari-cari alasan agar dapat menghindar dari perintah Allah Subhana Wa Ta'ala dan RasulNya dan jjuga dari aktifitas berkontribusi dalam Islam, demi menjaga kepentingan dunianya.

QS. Al-Fath (48) ayat 11:

sayaquulu laka almukhallafuuna mina al-a'raabi syaghalatnaa amwaalunaa wa-ahluunaa faistaghfir lanaa yaquuluuna bi-alsinatihim maa laysa fii quluubihim qul faman yamliku lakum mina allaahi syay-an in araada bikum dharran aw araada bikum naf'an bal kaana allaahu bimaa ta'maluuna khabiiraan

[48:11] Orang-orang Badwi yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: "Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami"; mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah : "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfa'at bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dalam ayat tersebut dijelaskan, bahwa pada masa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Salam datang orang-orang yang tertinggal atau tidak ikut berjihad menghadap Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam untuk mengemukakan alasan-alasan mereka tidak berangkat berjihad, diantaranya adalah karena mereka sibuk mengurusi harta dan keluarganya.

Namun sejatinya mereka tidak ikut berjihad lantaran mereka "Cinta Dunia dan Takut Akan Kematiaan"  sehingga mereka khawatir akan mendapatka celaka berupa luka dan kematian ketika berjihad. Padahal Allah Subhana Wa Ta'ala sajalah yang mampu menentukan menentukan seseorang akan mendapat celaka atau tidak dari aktifitas yang dikerjakannya itu..

Maka mereka mendatangi Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam dan mengemukakan alasannya agar Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam memakluminya dan mengampuni ketidak berangkatan mereka. Orang-orang yang datang  kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam dengan mengemukakan berbagai macam alasan kenapa mereka tidak berjihad itu sebenarnya karena mereka lebih cinta terhadap dunia sehingga mereka suka mencari-cari alasan agar merek bisa menghindar dari perintah Allah Subhana Wa Ta'ala.

Kecintaan manusia yang tertinggi harusnya adalah cinta kepada Allah Subhana Wa Ta'ala dan tidak boleh ada yang mengalahkan kecintaan seorang manusia kepada Allah Subhana Wa Ta'ala. Rasa cinta yang benar itu tidak mungkin akan melanggar syariat Allah Subhana Wa Ta'ala, justru rasa cinta yang benar akan membuat kita terjaga dari pelanggaran terhadap perintah Allah Subhana Wa Ta'ala. 


Khususnya ketika cinta padaNya itu menuntut pengorbanan-pengorbanan, yaitu pengorbanan waktu, harta, tenaga, bahkan nyawanya manusia sekalipun demi mendapat ridha Allah Subhana Wa Ta'ala semata.

Kita bisa mengambil ibrah (pelajaran) dari kisah para sahabat Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam yang mampu membuktikan cinta mereka yang begitu besar  terhadap Allah Subhana Wa Ta'ala dimana mereka mampu mengorbankan segala kepentingan dunianya demi meraih cintaNya.


Realita hari ini membuktikan bahwa umat Islam kalah dan terhina adalah karena kecintaan mereka yang salah, yaitu lebih cintia terhadap kepentingan dunianya daripada mencintai agama Allah Subhana Wa Ta'ala.

Agar manusia selalu dan dinilai tetap cinta kepada Allah Subhana Wa Ta'ala dan RasulNya, maka manusia harus memahami tatacara mensikapi ketika memiliki udzur atau terhalang dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Subhana Wa Ta'ala yaitu dengan bersikap jujur dalam mengemukakan udzur dengan tidak membuat-buat alasan dalam ketidak ikut sertaannya dan alasan yang dijadikan penghalang adalah perkara yang bersifat penting dan prinsipil, kemudian setelah itu diikuti dengan sikap-sikap yang benar ketika terhalang dalam menjalankan sebuah ketaatan,  yaitu kompensasi-kompensasi karena ketidak hadirannya, dan didalam dirinya ada perasaan bahwa dia merasa sedih karena tidak bisa ikut aktif dalam perjuangan Islam. 

QS. At-Taubah (9) ayat 90-93:


wajaa-a almu'adzdziruuna mina al-a'raabi liyu/dzana lahum waqa'ada alladziina kadzabuu allaaha warasuulahu sayushiibu alladziina kafaruu minhum 'adzaabun aliimun

[9:90] Dan datang (kepada Nabi) orang-orang yang mengemukakan 'uzur, yaitu orang-orang Arab Baswi agar diberi izin bagi mereka (untuk tidak berjihad), sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri saja. Kelak orang-orang yang kafir di antara mereka itu akan ditimpa azab yang pedih. 

laysa 'alaa aldhdhu'afaa-i walaa 'alaa almardaa walaa 'alaa alladziina laa yajiduuna maa yunfiquuna harajun idzaa nashahuu lillaahi warasuulihi maa 'alaa almuhsiniina min sabiilin waallaahu ghafuurun rahiimun

[9:91] Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, 

walaa 'alaa alladziina idzaa maa atawka litahmilahum qulta laa ajidu maa ahmilukum 'alayhi tawallaw wa-a'yunuhum tafiidhu mina alddam'i hazanan allaa yajiduu maa yunfiquuna

[9:92] dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan654

Catatan Kaki  654: Maksudnya mereka bersedih hati karena tidak mempunyai harta yang akan dibelanjakan dan kendaraan untuk membawa mereka pergi berperang.


innamaa alssabiilu 'alaa alladziina yasta/dzinuunaka wahum aghniyaau radhuu bi-an yakuunuu ma'a alkhawaalifi wathaba'a allaahu 'alaa quluubihim fahum laa ya'lamuuna

[9:93] Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikang tidak bertenaga dan tidak memiliki kemamuan.ut berperang dan Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka).

Ayat ini bercerita tentang etika udzur yang dibenarkan dalam Islam yaitu;
1. Orang yang lemah yang tidak bertenaga dan dan tidak memiliki kemampuan
2. Orang yang sakit sangat payah sehingga sakitnya itu menghalanginya dalam menjalankan perintah Allah Subhana Wa Ta'ala
3. Orang yang tidak punya cukup bekal dan biaya untuk melaksanakan kegiatannya.
4. Ada rasa penyesalan yang dalam, dalam dirinya karena ketidak ikut sertaannya.

Mekanisme atau cara yang dibenarkan apabila memiliki udzur atau berhalangan dalam menjalankan ketaatan yaitu:
1. Memberi kan kabar kerika berhalangan hadir atau ikut serta.
2. Mencoba bertanya tentang kabar aktifitas yang ia tertinggal.
3. Menunjukkan sikap yang benar


Penjelasan Point 4: "Apa saja atau siapa saja yang melampaui batas"
=> الطواغيت  = At-Thawaaghiit  

Apa saja yang melampaui batas  yang harus ditolak oleh seorang yang telah bersyhadat adalah "apa saja atau siapa saja yang melalmpaui batas"


الطواغيت  adalah jamak dari kata الطاغوت
(At-Thawaaghiit)                                           (At-Thaaghuut)

الطاغوت~At-Thaaghuut berasal dari kata طغى~At-Thaghaa yang artinya secara bahasa adalah melampaui ukuran dan batas, sebagaimana dalam ayat ;

 QS.An-Naziat (79) ayat 17:

idzhab ilaa fir'awna innahu thaghaa

[79:17] "Pergilah kamu kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, Sementara pengertianالطاغوت~At-Thaaghuut secara bahasa adalah berhala, adapun secara hukum atau secara istilah pengertiannya diantaranya adalah:

I. Ibnu Katsir menukil dari Umar Ibnul Khottob bahwa Thaghuut itu adalah syaithon (syaithon dari jenis manusia dan jin).

Dan Ibnu Katsir berkata:"Yang dimaksud dengan Thaghuut dalam firman Allah adalah syaithon
(syaithon dari jenis manusia dan jin), arti ini sangat kuat , karena mencakup segala kejelekan orang-orang jahiliyah yang berupa beribadah kepada berhala , berhukum kepadanya dan meminta pertolongan kepadanya" (Tafsir Ibnu Katsir I/III) 
Dan pada  1/512 Ibnu Katsir berkata:"Perkataan Umar itu juga dikata  oleh Ibnu Abbas, Abul 'Aliyah, Mujahid, 'Antho', Ikrimah, Said bin Jubair, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Adl dlohakdan As-Saddi.

Dan Ibnu Katsir menukil dari Jabir Radliallahu 'Anhu, bahwa Thaghuut itu adalah: "Para dukun yang disinggahi syaithon, karena pada dasarnya syaithon adalah makhluq yang melampaui batas, tidak mau tunduk kepada Allah Subhana Wa Ta'a;a, dalilnya;

QS. An-Nisa(4) ayat 60:



alam tara ilaa alladziina yaz'umuuna annahum aamanuu bimaa unzila ilayka wamaa unzila min qablika yuriiduuna an yatahaakamuu ilaa alththaaghuuti waqad umiruu an yakfuruu bihi wayuriidu alsysyaythaanu an yudhillahum dhalaalan ba'iidaan

[4:60] Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut312, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. 

Catatan  Kaki 312: Yang selalu memusuhi Nabi dan kaum muslimin dan ada yang mengatakan Abu Barzah seorang tukang tenung dimasa Nabi. Termasuk Thaghuut juga : 1. Orang yang menetapkan hukum secara curang menurut hawa nafsu. 2. Berhala-berhala.

Dari keterangan Umar bin Khattab yang mengartikan At-Thaghuut dengan makna syaithon, maka yang harus juga kita pahami adalah bahwa syaithon terdiri dari dua jenis, yaitu shaithon yang berasal dari jenis manusia dan syaithon yang berasal dari golongan jin, karena syaithon adalah kata sif at yang artinya jauh atau jahat, dalil yang menerangkan bahwa syaithon terdiri dari dua jenis adalah; 

QS. Al-An'am(6) ayat 112:




wakadzaalika ja'alnaa likulli nabiyyin 'aduwwan syayaathiina al-insi waaljinni yuuhii ba'dhuhum ilaa ba'dhin zukhrufa alqawli ghuruuran walaw syaa-a rabbuka maa fa'aluuhu fadzarhum wamaa yaftaruuna
[6:112] Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)499. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. 

Catatan Kaki 499: Maksudnya syaiton-syaiton jenis  jin dan manusia berupaya menipu manusia agar tidak beriman kepada Nabi.

Dalam ayat ini menjelaskan bahwa tiap Nabi itu memiliki musuh, yaitu syaiton-syaiton dari jenis jin dan syaiton-syaiton manusia. Jadi begitupun yang akan terjadi kepada manusia lain dalam menegakkan kebenaran pasti mereka akan mendapati musuh yang akan senantiasa menghalangi dakwah mereka, jadi tidaklah mungkin seseorang menegakkan nilai kebenaran tanpa ada yang memusuhinya lantaran manusia lainnya tidaklah lebih baik dari Nabi.



Cara-Cara Syaiton Menyesatkan Manusia:


1. Membisikkan dalam hati  manusia kata-kata yang indah tapi menipu, yang sebenarnya syaiton sedang berusaha menjauhkan kita dari jalan Allah Subhana Wa Ta'ala. Jadi tidak akan syaiton berterus terang dalam menyesatkan manusia dengan kata-kata apa adanya dalam rangka menyuruh mereka melawan  Allah Subhana Wa Ta'ala, tetapi yang akan selalu dikatakan syaiton kata-kata yang sebaliknya, seolah-olah itu adalah sebuah kebaikan.

Seagaimana syaiton menyesatkan nenek moyang kita Nabiyullah Adam 'Alaihi Salam untuk melanggar perintah Allah Subhana Wa Ta'ala mendekati pohon yang dilarang Allah Subhana Wa Ta'ala dengan kata-kata tipuannya, yaitu mengatakan bahwa Allah Subhana Wa Ta'ala melarang Nabi Adam 'Alaihi Salam adalah agar beliau tidak menjadi kekal atau tidak dijadikan sebagai seorang malaikat:


QS. Al-A'raf (7) ayat 20-21:

fawaswasa lahumaa alsysyaythaanu liyubdiya lahumaa maa wuuriya 'anhumaa min saw-aatihimaa waqaala maa nahaakumaa rabbukumaa 'an haadzihi alsysyajarati illaa an takuunaa malakayni aw takuunaa mina alkhaalidiina

[7:20] Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)".



waqaasamahumaa innii lakumaa lamina alnnaasihiina

[7:21] Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua",


Cara melawan langkah pertama dari tipu daya syaiton adalah dengan menolak setiap bisikan-bisikan yang muncul dan bersifat meragukan, seolah-olah hal itu adalah sebuah kebaikan tetapi pula intinya adalah menjauhkan manusia dari ketaatan kepada Allah Subhana Wa Ta'ala , dengan banyak dzikrullah serta memperkuat diri dengan ilmu yang haq, maka diharapkan manusia mampu melawan seruan-seruan bathil yang diserukan oleh syaiton jin maupun syaiton manusia.

2. Langkah berikutnya yang dilakukan oleh syaiton dalam menyesatkan manusia setelah membisikkan sebuah keraguan adalah manusia dibuat menjadi cendrung dan condong kepada kesesatan, dibuat menjadi suka , lalu pada akhirnya kita mengerjakan hal-hal yang dibisikkan oleh syaiton tersebut.


QS. Al-An'am (6) ayat 113:


walitashghaa ilayhi af-idatu alladziina laa yu/minuuna bial-aakhirati waliyardhawhu waliyaqtarifuu maa hum muqtarifuuna

[6:113] Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan.  

Setelah membahas makna thoghut menurut Umar bin Khattab Radiayallahu 'Anhu, maka makna Thoghut yang berikutnya adalah

II. Sebagaima penjelasan makna thoghut menurut Ibnul Qoyyim Al Jauziyah berkata: "Thoghut adalah segala sesuatu yang mana seorang hamba itu melampaui batas padanya, baik berupa sesuatu yang diibadahi atau diikuti atau ditaati,"

Maka  Thoghut adalah segala sesuatu yang dijadikan pemutus perkara oleh suatu kaum, selain Allah dan RasulNya, atau mereka ibadahi selain Allah, atau mereka ikut tanpa berdasarkan petunjuk dari Allah atau mereka taati pada perkara yang mereka tidak tahu bahwa itu ketaatan kepada Allah.

Inilah Thoghut di dunia ini, apabila engkau renungkan keadaan manusia bersama thoghut ini engkau akan melihat kebanyakan berpaling dari berhukum kepada Allah dan mengikuti RasulNya lalu mentaati dan mengikuti thoghut"

(A'lamul Muwaqqi'in I/50)


Dan diantara bentuknya yaitu;

1. Penguasa yang tidak mau taat dan tunduk pada perintah Allah, mereka itu adalah penguasa yang melampaui batas yang tidak mau menegakkan syariat Allah. Dan simbol dari contoh ini adalah Fir'aun, sosok penguasa yang menentang Allah dengan kekuasaannya:

QS. An-Naziat(79) ayat 17:


idzhab ilaa fir'awna innahu thaghaa

[79:17] "Pergilah kamu kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas,  

QS. An-Naziat(79) ayat 24:
faqaala anaa rabbukumu al-a'laa

[79:24] (Seraya) berkata:"Akulah tuhanmu yang paling tinggi".

Seharusnya program kerja penguasa yang benar menurut Allah Subhana Wa Ta'ala yaitu "menegakkan syariat Allah Subhana Wa Ta'ala dalam kekuasaan yang dipegangnya".

QS. Al-Hajj(44) ayat 41:



 
alladziina in makkannaahum fii al-ardhi aqaamuu alshshalaata waaatawuu alzzakaata wa-amaruu bialma'ruufi wanahaw 'ani almunkari walillaahi 'aaqibatu al-umuuri

[22:41] (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. 

QS. Shad(38) ayat 26:

yaa daawuudu innaa ja'alnaaka khaliifatan fii al-ardhi fauhkum bayna alnnaasi bialhaqqi walaa tattabi'i alhawaa fayudhillaka 'an sabiili allaahi inna alladziina yadhilluuna 'an sabiili allaahi lahum 'adzaabun syadiidun bimaa nasuu yawma alhisaabi

[38:26] Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. 

QS. An-Nisa(4) ayat 59:


yaa ayyuhaa alladziina aamanuu athii'uu allaaha wa-athii'uu alrrasuula waulii al-amri minkum fa-in tanaaza'tum fii syay-in farudduuhu ilaa allaahi waalrrasuuli in kuntum tu/minuuna biallaahi waalyawmi al-aakhiri dzaalika khayrun wa-ahsanu ta/wiilaan

[4:59] Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

2. Hakim-Hakim Yang Memutuskan Perkara Tidak Berdasarkan Syariah Allah Subhana Wa Ta'ala.

QS. Al-Maidah(5) ayat 44:

innaa anzalnaa alttawraata fiihaa hudan wanuurun yahkumu bihaa alnnabiyyuuna alladziina aslamuu lilladziina haaduu waalrrabbaaniyyuuna waal-ahbaaru bimaa istuhfizhuu min kitaabi allaahi wakaanuu 'alayhi syuhadaa-a falaa takhsyawuu alnnaasa waikhsyawni walaa tasytaruu bi-aayaatii tsamanan qaliilan waman lam yahkum bimaa anzala allaahu faulaa-ika humu alkaafiruuna

[5:44] Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

QS. An-Nisa(4) ayat 65:


falaa warabbika laa yu/minuuna hattaa yuhakkimuuka fiimaa syajara baynahum tsumma laa yajiduu fii anfusihim harajan mimmaa qadhayta wayusallimuu tasliimaan

[4:65] Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

3. Hukum-Hukum Yang Bertentangan Dengan Syariat Allah Subhana Wa Ta'ala :

QS. Al-Maidah(5) ayat 50:


afahukma aljaahiliyyati yabghuuna waman ahsanu mina allaahu hukman liqawmin yuuqinuuna

[5:50] Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? 

Maka seluruh manusia wajib menolak atau mengingkari thoghut sebagaimana ia adalah merupakan misi utama dari di utusnya Rasul yaitu mengajarkan pada manusia untuk memiliki nilai hidup yang benar dalam kehidupannya yaitu untuk menyembah Allah Subhana Wa Ta'ala saja dan menjauhi thaghut.

QS. An-Nahl (16) ayat 36:


walaqad ba'atsnaa fii kulli ummatin rasuulan ani u'buduu allaaha waijtanibuu alththaaghuuta faminhum man hadaa allaahu waminhum man haqqat 'alayhi aldhdhalaalatu fasiiruu fii al-ardhi faunzhuruu kayfa kaana 'aaqibatu almukadzdzibiina

[16:36] Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut826 itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya827. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).

Catatan Kaki 826: Thaghut ialah syaiton dan apa saja yang disembah selain dari Allah Subhana Wa Ta'ala.

Dampak yang terjadi dengan diutusnya Rasul dengan membawa misi seperti diatas adalah terpecahnya manusia menjadi dua golongan yaitu ada golongan yang mendapat hidayah dan ada yang tersesat. 


Golongan yang mendapat hidayah adalah orang-orang yang mau menerima misi para Rasul tersebut yaitu "Hanya Menyembah Allah Subhana Wa Ta'ala dan Menjauhi Thoghut" seperti yang dijelaskan diatas.

Sementara golongan yang tersesat adalah "mereka yang menolak misi para Nabi, sehingga yang mereka lakukan adalah menyembah thoghut dan menjauhi Allah Subhana Wa Ta'ala" atau menyembah Allah Subhana Wa Ta'ala dan juga menyembah Thoghut, hal tersebut sama sesat nilainya.

Kemudian Allah Subhana Wa Ta'ala memerintahkan manusia untuk berjalan di muka bumi (memperhatikan sejarah perjalanan hidup manusia) bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan misi para Rasul tersebut, untuk diambil sebagai pelajaran, bahwa kesudahan para penentang Rasul adalah kebinasaan, kehancuran dan kehinaan, tidak ada kemuliaan sedikitpun bagi mereka.

Maka agar kita mendapatkan kemuliaan hidup dan terhindar dari kehinaan tersebut maka tidak ada jalan lain kecuali manusia mau mengikuti misi yang disampaikan para Rasul tersebut. Dengan demikian menjadi penting bagi seseorang untuk mengerti bagaimana cara menyembah Allah Subhana Wa Ta'ala dengan benar.

Seseorang tidak dipandang beriman oleh Allah Subhana Wa Ta'ala jika tidak dapat bersikap dengan benar terhadap kebathilan, yaitu bersikap menolak dan menentangnya. Karena seseorang juga belum dikatakan mendapat petunjuk apabila belum bisa menunjukkan sikap yang benar terhadap kebathilan, yaitu dengan cara kita tidak boleh membela, mendukung, atau condong terhadap thoghut dan  segala macam nilai kebathilan. 

QS. Al-Baqarah(2) ayat 256:




laa ikraaha fii alddiini qad tabayyana alrrusydu mina alghayyi faman yakfur bialththaaghuuti wayu/min biallaahi faqadi istamsaka bial'urwati alwutsqaa laa infishaama lahaa waallaahu samii'un 'aliimun


[2:256] Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut162 dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. 

Catatan Kaki 162: Thaghut ialah syaiton dan apa saja yang disembah selain Allah Subhana Wa Ta'ala.

Ada orang yang mengaku beriman kepada Kitabullah tapi realita dalam hidupnya mereka berhukum  kepada thoghut padahal Allah Subhana Wa Ta'ala telah memerintahkan kita untuk mengingkari thoghut yang hendak menyesatkan manusia  dari jalan Allah Subhana Wa Ta'ala, maka siapa saja yang sanggup mengingkari thoghut dan hanya beriman kepada Allah Subhana Wa Ta'ala saja artinya ia telah memiliki keimanan yang teguh dalam dirinya. 

Selanjutnya pembahasan makna thaghut yang berikutnya adalah:

III. Menurut Abdul Mu'nim Mustafa Halimah, dalam bukunya yang berjudul "thoghut" beliau menyebutkan tidak kurang dari tiga puluhan jenis thaghut diantaranya adalah;

1. Dukun dan Paranorml, kaarena mereka mengakui mengetahui hal-hal yang ghaib, sedangkan hanya Allah Subhana Wa Ta'ala sajalah yang Maha Mengetahu tentang semua perkara yang ghaib itu.

QS. Al Jin (72) ayat 26-27:

'aalimu alghaybi falaa yuzhhiru 'alaa ghaybihi ahadaan
[72:26] (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.

illaa mani irtadaa min rasuulin fa-innahu yasluku min bayni yadayhi wamin khalfihi rashadaan
[72:27] Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.

QS. Al-An'am(6) ayat 59:

wa'indahu mafaatihu alghaybi laa ya'lamuhaa illaa huwa waya'lamu maa fii albarri waalbahri wamaa tasquthu min waraqatin illaa ya'lamuhaa walaa habbatin fii zhulumaati al-ardhi walaa rathbin walaa yaabisin illaa fii kitaabin mubiinin
[6:59] Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"

QS. Asy-syura(42) ayat 6:


waalladziina ittakhadzuu min duunihi awliyaa-a allaahu hafiizhun 'alayhim wamaa anta 'alayhim biwakiilin

[42:6] Dan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah, Allah mengawasi (perbuatan) mereka; dan kamu (ya Muhammad) bukanlah orang yang diserahi mengawasi mereka.

2. Demokrasi, karena demokrasi adalah sistim yang bertentangan dengan syariat Allah Subhana Wa Ta'ala, dimana ukuran benar dan salah, baik dan buruk adalah menurut pendapat mayoritas atau kebanyakan orang. Sementara mengikuti suara mayoritas sama dengan mengikuti kaum awam yang tidak mendasarkan sikap dan perbuatannya berdasarkan ilmu, melainkan hanya mendasarkan terhadap khayalan dan dugaan-dugaan semata:

QS. Al-An'am(6) ayat 116:



wa-in tuthi' aktsara man fii al-ardhi yudhilluuka 'an sabiili allaahi in yattabi'uuna illaa alzhzhanna wa-in hum illaa yakhrushuuna

[6:116] Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)500.

Catatan Kaki 500: Seperti menghalalkan memakan apa-apa yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan Allah, menyatakan bahwa Allah mempunyai anak.

3. Dan Berbagai Isme-Isme Bathil Yang Dikarang Karang Oleh Manusia  untuk dijadikan sebagai jalan hidupnya, seperti nasionalisme, kapitalisme, sekulerisme, liberalisme, dan sebagainya.

Ketika kita tidak bisa memahami bagaimana cara mensikapi thoghut maka keimanan kita akan dinilai rusak oleh Allah Subhana Wa Ta'ala. Barangsiapa yang taat kepada thoghut maka mereka termasuk manusia-manusia yang dilaknati oleh Allah Subhana Wa Ta'ala dan termasuk kedalam golongan orang-orang yang kafir.

QS. Al-Maidah(5) ayat 69:

qul hal unabbi-ukum bisyarrin min dzaalika matsuubatan 'inda allaahi man la'anahu allaahu waghadhiba 'alayhi waja'ala minhumu alqiradata waalkhanaaziira wa'abada alththaaghuuti ulaa-ika syarrun makaanan wa-adhallu 'an sawaa-i alssabiili

[5:60] Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi424 dan (orang yang) menyembah thaghut ?". Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.

Catatan Kaki 424: Yang dimaksud disini ialah orang-orang Yahudi yang melanggar kehormatan Hari Sabtu(lihat surah Al-Baqarah ayat 65)

Adapun para pembela thoghut adalah orang-orang yang mempertahankan dan membantunya dengan segenap tenaga dan kekuatan bahkan sampai berperang sekalipun mereka lakukan atas nama thoghut tersebut, juga membelanya baik dengan perkataan maupun perbuatan. Maka setiap orang yang membantu mereka baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan adalah termasuk dalam kategori para pembela thoghut tersebut di atas. Dan mereka tetap dihukumi sama seperti para thoghut itu sendiri yaitu termasuk ke dalam golongan orang-orang yang kafir. 

Atas dasar itulah maka yang termasuk Para Pembela Thoghut Diantaranya adalah:

1. Orang-Orang Yang Membantu Dengan Perkataan yaitu orang-orang yang membantah kekafiran mereka dan membodoh-bodohkan atau melontarkan tuduhan yang keji kepada kaum muslimin yang berjihad melawannya.

Diantaranya adalah para ulama su'u, orang-orang yang memberikan pengesahan secara syar'i kepada para penguasa kafir, para penulis yang menyebarkan ide-ide bathil lewat tulisan-tulisannya para jurnalis dan penyiar-penyiar berita yang menjadi corong propaganda kaum kafir untuk menyebarkan nilai-nilai kekafiran, dimana mereka melakukan perbuatan dengan lisan dan tulisannya untuk membantu para thoghut seperti yang disebut diatas.

2. Orang-Orang Yang Membela Dengan Perbuatan  yaitu mereka yang melakukannya secara langsung ataupun tidak. Diantaranya adalah Angkatan bersenjata atau bala tentara para penguasa yang kafir atau siapa saja yang melakukan perbuatan-perbuatan yang sama seperti mereka, dimana mereka dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan eksistensi para thoghut dari pihak-pihak yang berseberangan dengannya, khususnya untuk melawan kaum muslimin yang bermaksud untuk memerangi para thoghut.

Setelah mengetahui diantara bentuk thoghut, maka manusia harus mengetahui cara mengkufuri thoghut itu yaitu;
1. Berbaro'(berlepas diri ) dari mereka.
2. Mengingkari kekafiran mereka
3. Memusuhi mereka
4. Membenci mereka

Sedangkan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab cara mengkufuri thaghut;
1. Meyakini bathilnya beribadah kepada selain Allah Subhana Wa Ta'ala.
2. Membencinya
3. Memusuhinya
4. Meninggalkannya.

QS. Al-Mumtahanah (60) ayat 4:



qad kaanat lakum uswatun hasanatun fii ibraahiima waalladziina ma'ahu idz qaaluu liqawmihim innaa buraaau minkum wamimmaa ta'buduuna min duuni allaahi kafarnaa bikum wabadaa baynanaa wabaynakumu al'adaawatu waalbaghdaau abadan hattaa tu/minuu biallaahi wahdahu illaa qawla ibraahiima li-abiihi la-astaghfiranna laka wamaa amliku laka mina allaahi min syay-in rabbanaa 'alayka tawakkalnaa wa-ilayka anabnaa wa-ilayka almashiiru

[60:4] Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka : "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya1471: Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali." 

 Catatan Kaki: Nabi Ibrahim pernah memintakan ampunan bagi bapaknya yang musyrik kepada Allah:  ini tidak boleh ditiru, karena Allah tidak membenarkan orang mukmin memintakan ampunan untuk orang-orang kafir(Lihat Surat An-Nisa ayat 48)



inna allaaha laa yaghfiru an yusyraka bihi wayaghfiru maa duuna dzaalika liman yasyaau waman yusyrik biallaahi faqadi iftaraa itsman 'azhiimaan

[4:48] Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.

Setelah kita membahas rukun pertama dari syahadat yaitu rukun  اَلنَّفْيُ~an nafyu(penolakan) yang terdapat dalam kalimat  أَنْ لاَ~anla maka In Syaa Allah pembahasan berikutnya adalah tentang kata اِلهَ~ilaah dalam kalimat syahadat.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ ***** ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~





























 



 

















































1 komentar: