|
Cara kita mengilmui Kalimat syahadat yaitu dengan mengkaji satu
persatu kata yang ada di dalam kalimat syahadat tersebut. Sehingga ketika
mengucapkannya, kita dapat menghayati dan memahami kandungan syahadat itu dengan baik.
Kata pertama kali kita kaji adalah أَشْهَدُ yang berasal dari kata شَهَدَ yang artinya bersumpah, berjanji, berikrar, dan
menyatakan. Jadi kalimat
syahadat merupakan sebuah pernyataan, sumpah, janji, dan ikrar kita.
Kalimat
tersebut tidak menggunakan kata قاَلَ yang artinya berkata, artinya kalimat
syahadat bukanlah kalimat biasa yang tidak memiliki konsekwensi apa-apa. Karena
kita memahami secara bahasa, bahwa saya berkata dengan saya bersumpah memiliki
penekananan yang berbeda secara makna, “bahwa saya bersumpah” memiliki konsekwensi
yang lebih dalam dibandingngkan dengan “saya berkata”.
Oleh karena
itu dengan pemahaman seperti itu kita
menyadari untuk selalu menjaga sumpah kita dan berusaha untuk tidak melanggar
janjinya, karena perbuatan melanggar sumpah akan mendapatkan konsekwensi-konsekwensi
yang besar dihadapan Allah Subhana Wa Ta’ala.
Contoh Kasus:
1
Dalam perkara
sumpah jabatan, maka seseorang wajib menjaga sumpah jabatannya dari
perkara-perkara yang bertentangan dengan sumpah jabatannya, Karena apabila
seseorang melakukan hal-hal yang melanggar sumpah jabatannya maka
konsekwensinya akan diberikan sangsi atau bisa sampai dicopot jabatan yang dimilikinya.
Contoh Kasus:
2
Didalam
aktifitas persidangan baik yang namanya saksi, terdakwa, maupun korban wajib
bersumpah dihadapan majelis untuk menyatakan akan memberikan keterangan yang
sebenar-benarnya di muka persidangan. Apabila terbukti seseorang memberikan
keterangan palsu di muka persidangan yang artinya melanggar sumpahnya maka dia
akan mendapatkan sangsi karena memberikan keterangan palsu di hadapan majelis.
Untuk lebih
memahami makna dan kandungan kata شَهَدَ maka kita
lihat contoh penggunaannya dalam Al-Qur’an :
QS. Al Hajj(22) ayat 28
|
|
liyasyhaduu
manaafi'a lahum wayadzkuruu isma allaahi fii ayyaamin ma'luumaatin 'alaa
maa razaqahum min bahiimati al-an'aami
fakuluu minhaa wa-ath'imuu albaa-isa alfaqiira
|
Supaya mereka
menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama
Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan
kepada mereka berupa binatang ternak.
Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah
untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.
Didalam ayat itu
menjelaskan penggunaan kata شَهَدَ yang
bermakna menyaksikan yaitu: menyaksikan berbagai macam manfaat yang ada di dalam
kehidupan. Untuk seseorang bisa sampai pada kesimpulan bahwa didalam
kehidupannya benar-benar mereka menyaksikan berbagai macam manf’aat, maka
seseorang wajib menggunaakan seluruh potensi yang ada di dalam dirinya seperti
penggunaan mata, telinga, akal dan hatinya untuk memberikan sebuah penilaian
sehingga akhirnya sampailah lisannya mampu menyimpulkan bahwa benar di dalam
kehdupannya banyak sekali manfaat yang Allah Subhana Wa Ta’ala telah Allah
ciptakan untuk dirinya;
QS An-Nur[24] ayat 4

|
waalladziina yarmuuna almuhsanaati tsumma
lam ya/tuu bi-arba'ati syuhadaa-a faijliduuhum tsamaaniina jaldatan walaa taqbaluu
lahum syahaadatan abadan waulaa-ika humu alfaasiquuna
|
[24:4] Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka
itulah orang-orang yang fasik.
QS An-Nur[24] ayat5
illaa alladziina taabuu min ba'di dzaalika wa-ashlahuu fa-inna allaaha ghafuurun rahiimun
[24:5]
kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki
(dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
QS An-Nur[24] ayat6:
|
|
waalladziina yarmuuna azwaajahum walam yakun lahum syuhadaau illaa anfusuhum fasyahaadatu ahadihim arba'u syahaadaatin biallaahi innahu lamina alshshaadiqiina
|
[24:6]
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak
ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia
adalah termasuk orang-orang yang benar.
|
QS An-Nur[24] ayat7
|
|
waalkhaamisatu anna la'nata allaahi 'alayhi in kaana mina alkaadzibiina
|
[24:7]
Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.
QS An-Nur[24] ayat8:
|
|
wayadrau 'anhaa al'adzaaba an tasyhada arba'a syahaadaatin biallaahi innahu lamina alkaadzibiina
|
[24:8]
Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas
nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang
yang dusta.
|
QS An-Nur[24] ayat9:
|
|
waalkhaamisata anna ghadhaba allaahi 'alayhaa in kaana mina alshshaadiqiina
|
[24:9]
dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.
|
Demikian pula dalam
ayat ini dijelaskan tentang perkara persaksian tentang
sebuah tuduhan, dimana persaksian seseorang tentang sebuah tuduhan hanya
akan
dapat diterima manakala ada saksi yang menyaksikan perbuatan yang
dituduhkan,
dan dia mampu memberikan keterangan bukan hanya berdasarkan lisannya
semata , melainkan dia juga harus mampu memberikan keterangan
berdasarkan apa yang dia lihat, dia fikir dan dia rasakan sehingga
persaksiannya tentang sebuah tuduhan menjadi kuat.
Maka berdasarkan ayat ini juga
difahami bahwa sebuah persaksian itu bukan semata-mata perkerjaan lisan,
melainkan juga harus dikuatkan dengan anggota tubuh yang lain dalam
persaksiannya.
Dalam
pemahaman kita tentang persaksian, maka kita akan dapat membedakan syahadat
yang dilakukan oleh orang-orang munafiq dengan syahadat yang dilakukan oleh
orang yang benar imannya, dimana syahadat yang dilakukan oleh orang munafiq
hanya dilakukan sebatas lisannya saja, tidak menjadi sebuah keyakinan dalam
hatinya. Sehingga syahadatnya orang munafiq tetap tertolak dalam pandangan Allah Subhana Wa
Ta’ala.
Pada
realitanya kita saksikan bahwa orang-orang munafiqpun juga bersyahadat untuk
mengakui bahwa Muhammad Shalallau ‘Alaihi Wa sallam adalah Rasululllah, hal
itu dilakukan adalah untuk menutupi kekafiran dalam dirinya, agar mereka dianggap
sebagai seorang muslim dan tidak mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari
pemerintahan Islam. Namun dalam prakteknya aktifitas yang dilakukan oleh kaum
munafiq ini adalah menghalang-halangi manusia dari jalan Allah Subhana Wa
Ta’ala dan dari keta’atan kepada Allah Subhana Wa Ta’ala.
QS. Al-Munafiqun (63) ayat 1:
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ
قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ
لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami
mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah
mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah
mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang
pendusta.
QS. Al-Munafiqun (63) ayat 2:
|

ittakhadzuu
aymaanahum junnatan fashadduu 'an sabiili allaahi innahum saa-a
maa kaanuu ya'maluuna
|
[63:2] Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.
Orang yang
mampu menghayati kandungan kalimat syahadat, akan memiliki sikap dan karakter
yang berbeda dengan orang yang tidak menghayatinya. Karena orang yang
menghayati kandungan kalimat syahadat dengan baik akan terbentuk karakter dan
kepribadiannya sesuai kandungan dalam kalimat syahadat itu sendiri.
Setiap orang-orang
kafir terdahulu ketika diajak bersyahadat adalah menolak, karena mereka tahu
akan konsekwensi-konsekwensi dari kalimat syahadat yang akan mereka katakan,
yaitu harus meninggalkan perkara-perkara yang bertentangan dengan kandungan
kalimat syahadat.
Faktanya hari
ini justru yang terjadi adalah sebaliknya, dimana kebanyakan orang-orang yang
sudah bersyahadat dan memeluk Islam justru menujnjukkan sikap penolakan
terhadap konsekwensi-konsekwensi yang ada dalam kalimat syahadat, hal itu
justru lantaran mereka dalam keadaan tidak mengetahui kandungan yang terkandung
dalam kalimat syahadat ketika mengikrarkannya, padahal setiap saat mereka
mengucapkan kalimat syahadat tersebut,
Sehingga
akhirnya kita saksikan hari ini umat Islam itu sendiri yang melakukan penolakan-penolakan
terhadap kandungan kalimat syahadat dan itu artinya ada suatu kesamaan sikap
antara orang yang kafir dahulu dengan kebanyakan kaum muslimin hari ini yang
tidak memahami kandungan kandungan kalimat syahadat dengan baik, yaitu sama-sama menolak konsekwensi-konsekewnsi yang ada
dalam kalimat syahadat.
Itulah yang menjadi Ironi dari keadaan
umat hari ini.
QS. Ash-Shaffat: 35-36:
|
|
innahum kaanuu idzaa qiila lahum laa ilaaha illaa allaahu yastakbiruuna
|
[37:35]
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha
illallah" (Tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah) mereka
menyombongkan diri,
|
|
|
wayaquuluuna a-innaa lataarikuu aalihatinaa lisyaa'irin majnuunin
|
[37:36]
dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?"
|
Ayat itu
dengan jelas menggambarkan sikap penolakan orang-orang kafir dahulu, ketika
mereka diajak untuk bersyahadat, yaitu mereka menolaknya lantaran mereka tidak
mau meninggalkan adat dan kebiasaan mereka yang bertentangan dengan konsekwensi
kalimat syahadat.
--------------------------------------------------------------
|
|
|
|
|
.
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar