Minggu, 24 November 2013

10. Catatan dari penjara seri 10 Dinul Islam wajib diamalkan secara bersih (Bab Kepemimpinan wajib bersih dari kepemimpinan kafir dan sekuler (4) )




(Ustadz Abu Bakar Ba’asyir -fakkallohu asroh-)

سم الله الرحمن الرحيم

Catatan dari penjara seri 10
Dinul Islam wajib diamalkan secara bersih
(Bab Kepemimpinan wajib bersih dari kepemimpinan kafir dan sekuler (4)

SIKAP ORANG BERIMAN BILA TERPAKSA HIDUP DI BAWAH PEMERINTAHAN YANG DIPIMPIN OLEH ORANG KAFIR ATAU OLEH ORANG SEKULER (THOGHUT)

Apabila orang beriman terpaksa hidup dalam suatu pemerintahan yang dipimpin oleh orang Kafir atau oleh kaum Sekuler, maka ia harus menentukan sikap seperti yang telah ditetapkan oleh Allah Subhana Wa Ta'ala  dan Rasul Nya agar ia selamat dari diseret kepada kegelapan hidup di dunia dan ke neraka di akherat. Sikap tersebut ialah: "Ia harus menentangnya, bila ada kemampuan menentang dengan tangan, yakni menekannya atau kalau mampu menurunkannya dan menggantinya dengan pemimpin yang bersedia melaksanakan Syariat Islam secara Kaaffah. "

Apabila belum mampu menentang dengan tangan, maka ia wajib menentang dengan lisannya. Yakni yang Kafir didakwahi supaya memeluk Islam dan yang Sekuler dinasehati supaya bertaubat agar menjadi muslim yang benar dan bersedia melaksanakan Syariat Islam secara Kaffah dalam negara yang dipimpinnya. Kalau tidak bersedia mereka dihukumi murtad.
 
Bila belum mampu dengan lisan, ia harus menentang dengan hatinya, yang pelaksanaannya menjauhi dan tidak membantunya, kalau mampu dengan cara berhijrah ke negara yang telah berlaku syariat Islam secara kaffah kalau tidak mampu berhijrah agar berusaha uzlah dari masyarakat jahiliyah. Karena pada kakekatnya pemimpin Kafir dan Sekuler program kepemimpinannya pasti mungkar, maka harus dilawan meskipun hanya mampu dengan hati.

Ketiga sikap untuk melewan kemungkaran ini diterangkan oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dalam sabdanya:

“Barang siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya dengan tanganya, maka jika ia belum mampu hendaklah ia merubah dengan lisannya, dan jika ia juga masih belum mampu maka ia harus menentang dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemahnya iman” (HR Muslim).


Apabila tidak ada perlawanan meskipun hanya dengan hati maka berarti tidak ada iman yakni mukmin yang tidak melawan kemungkaran meskipun hanya dengan hati maka ia murtad. Hal ini diterangkan dalam riwayat dibawah ini:


“Tidak seorang nabi pun yang dibangkitkan oleh Allah pada suatu umat sebelum aku kecuali beliau mempunyai pengikut setia dan sahabat-sahabat yang taat dari umatnya. Mereka selalu mengamalkan sunnahnya dan mengikut perintahnya. Kemudian muncul sesudah mereka suatu generasi yang bercakap tentang sesuatu tetapi tidak diamalkannya dan mengamalkan sesuatu yang tidak diperintah. Maka barang siapa melawan mereka dengan tangannya, ia adalah seorang mukmin, dan barang siapa melawan mereka dengan lisannya ia juga masih seorang mukmin, dan barang siapa melawan mereka dengan hatinya ia juga seorang mukmin. Dan selain ketiga sikap itu (tidak ada perlawanan meskipun hanya dengan hati) menunjukkan tidak ada iman sedikitpun dihatinya”. (HR Muslim).

Melawan dengan hati harus ditunjukkan sedapat mungkin dengan sikap: Menjauhinya dan tidak membantunya. Hal ini diterangkan oleh Allah  Subhana Wa Ta'ala dalam firman-Nya:

walaqad ba'atsnaa fii kulli ummatin rasuulan ani u'buduu allaaha waijtanibuu alththaaghuuta faminhum man hadaaallaahu waminhum man haqqat 'alayhi aldhdhalaalatu fasiiruu fii al-ardhi faunzhuruu kayfa kaana 'aaqibatu almukadzdzibiina

[16:36] Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut826 itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya827. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).

Keterangan:

Ayat tersebut diatas jelas bahwa setiap Rasul memerintahkan kepada umatnya agar supaya selalu menjauhi Thoghut  (kepemimpinan Kafir dan Sekuler). Mengingkarinya dan tidak mengakui eksistensinya.


Dan juga diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya, Surah Al Baqaraah : 256

laa ikraaha fii alddiini qad tabayyana alrrusydu mina alghayyi faman yakfur bialththaaghuuti wayu/min biallaahi faqadi istamsaka bial'urwati alwutsqaa laa infishaama lahaa waallaahu samii'un 'aliimun

[2:256] Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut162 dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
 
Dan firman Nya lagi
An Nisaa : 60

alam tara ilaaalladziina yaz'umuuna annahum aamanuu bimaa unzila ilayka wamaa unzila min qablika yuriiduuna an yatahaakamuu ilaaalththaaghuuti waqad umiruu an yakfuruu bihi wayuriidu alsysyaythaanu an yudhillahum dhalaalan ba'iidaan

[4:60] Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut312, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.

Keterangan:

Dua ayat tersebut jelas menerangkan bahwa Allah Subhana Wa Ta'ala memerintahkan kepada umat Islam agar mengingkari Thoghut dan tidak berhakim kepadanya, bahkan Iman seseorang kepada Allah Subhana Wa Ta'ala tidak syah kalau dia tidak bersedia mengkafiri dan mengingkari Thoghut (Kafir dan kaum Sekuler).

Mengamalkan Syariat Islam menurut kemampuan terutama dalam menyelesaikan perselisihan dan menghukum pelanggaran-pelanggaran Syariat dengan cara mengangkat Ulama yang dipercaya untuk menjadi Hakim dalam mengadili persoalan ini. Untuk lebih jelasnya dalam hal ini saya kutipkan secara lengkap pembahasan seorang ulama Shyeik Abdul Aziz bin Abdul Kadir dalam kitab beliau: AL - JAMI FI THOLABIL ‘ILMISY SYARIIF. Dalam judul: Wajib Berhukum Kepada Syariat, beliau berkata sebagai berikut: ‘Tata cara bertahkim kepada Syariat Islam di dalam negara yang diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Kafir’. Di dalam negara yang diperintah dengan menggunakan undang-undang ciptaan manusia yang bertentangan dengan Syariat Islam, kaum Muslimin wajib berhukum kepada Syariat Islam semampunya.

Karena Allah Subhana Wa Ta'ala berfirman,  Surah An Nisaa’ : 65

falaa warabbika laa yu/minuuna hattaa yuhakkimuuka fiimaa syajara baynahum tsumma laa yajiduu fii anfusihim harajan mimmaa qadhayta wayusallimuu tasliimaan

[4:65] Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Dan firman Nya lagi, Surah At Taghaabun : 16

faittaquu allaaha maa istatha'tum waisma'uu wa-athii'uu wa-anfiquu khayran li-anfusikum waman yuuqa syuhha nafsihi faulaa-ika humu almuflihuuna

[64:16] Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta'atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu1481. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Disini ada empat pembahasan:
1. Siapa yang wajib melaksanakannya? 
2. Ciri orang yang dijadikan Hakam? 
3. Masalah apa saja yang diperbolehkan dalam bertahkim? 
4. Dan haramnya menolak untuk berhukum pada Syariat.

Penjelasan:

1. Siapa yang wajib untuk bertahkim?


Tidak samar lagi bahwa hal ini hukumnya adalah fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim jika ia menghadapi permasalahan yang mengharuskan untuk berhukum kepada Syariat. Karena sesungguhnya permasalahan ini merupakan Ashlul Iman (pokok keimanan), sebagaimana saya katakan diatas. Akan tetapi disini saya ingin mengingatkan kewajiban-kewajiban para pemimpin jama’ah-jama’ah atau organisasi-organisasi Islam yang bermacam-macam tentang permasalahan ini, karena Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam bersabda:


“Kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua bertanggung jawab terhadap pengikutnya” (Muttafaq ‘Alaih)

Maka para pemimpin jama’ah-jama’ah tersebut harus mewajibkan kepada para pengikutnya untuk melaksanakan kewajiban syar’i ini. Dan ikatan (bai’at) jama’ah-jama’ah ini diantara isinya harus ada pernyataan semacam ini. Dengan demikian kewajiban untuk berhukum bagi anggota jamaah itu ditinjau dari tiga sisi.

Pertama: Wajib secara syar’i, berdasarkan firman Allah Subhana Wa Ta'ala : Surah An Nisaa’ : 65

falaa warabbika laa yu/minuuna hattaa yuhakkimuuka fiimaa syajara baynahum tsumma laa yajiduu fii anfusihim harajan mimmaa qadhayta wayusallimuu tasliimaan

[4:65] Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Kedua, Wajib karena perjanjian berdasarkan firman Allah Subhana Wa Ta'ala:
walaa taqrabuu maala alyatiimi illaa biallatii hiya ahsanu hattaa yablugha asyuddahu wa-awfuu bial'ahdi inna al'ahda kaana mas-uulaan

[17:34] Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfa'at) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
Ketiga: Wajib karena perintah pimpinan jama’ah, berdasarkan firman Allah Subhana Wa Ta'ala:

Surah An Nisaa': 59

yaa ayyuhaaalladziina aamanuu athii'uu allaaha wa-athii'uu alrrasuula waulii al-amri minkum fa-in tanaaza'tum fii syay-in farudduuhu ilaaallaahi waalrrasuuli in kuntum tu/minuuna biallaahi waalyawmi al-aakhiri dzaalika khayrun wa-ahsanu ta/wiilaan

[4:59] Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Kewajiban para pemimpin untuk memerintahkan pengikutnya ini juga menjadi kewajiban bagi setiap orang yang ditaati, seperti orang yang dituakan dan pemuka di berbagai suku bangsa dan orang-orang yang semacam ini.

2. Ciri-ciri orang yang dijadikan Hakam (pemutus perkara).

Yang dijadikan sebagai Hakam adalah orang yang terbaik, kemudian orang setelahnya. Pada asalnya hendaknya hakim itu seorang Mujtahid, berdasarkan Hadist Marfu’ amr bin Al ‘Ash yang bunyinya:

“Jika seorang hakim memutuskan perkara lalu ia berijtihad dan ijtihad itu benar ...” 
(Muttafak ‘Alaih)

Jika tidak terdapat mujtahid, maka bertahkim kepada muqallid atau tholibul ‘ilmi (pelajar), sebagaimana yang telah lalu dalam perkataan Al Juwaini, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, yang penjelasannya telah kami sebutkan dalam pembahasan tingkatan-tingkatan mufti pada bab V dalam kitab ini (Al Jami’).


Sampai-sampai Al Qodhi Burhanuddin bin Farhun mengatakan: “Al Lakhmi mengatakan; bahwasanya bertahkim itu diperbolehkan jika orang yang menjadi hakam itu adil (bisa dipercaya) orang yang mampu berijtihat atau orang awam yang meminta petunjuk kepada ulama. Namun jika orang awam tersebut tidak meminta petunjuk kepada ulama, maka keputusannya tertolak meskipun keputusannya itu sesuai dengan perkataan ulama, karena hal itu membahayakan dan penipuan” (Tab Shirotul Hukkam I / 63).


Maka bertahkim itu harus kepada orang yang terbaik, lalu kalau tidak ada maka orang yang setingkat dibawahnya. Dan tidak boleh meninggalkan kewajiban ini selama masih memungkinkan untuk melaksanakan. Maka ini adalah tanggung jawab besar yang ditanggung oleh kaum Muslimin secara umum dan para pemimpin khususnya seperti pimpinan jama’ah dan organisasi Islam untuk mengadakan sejumlah orang yang mencukupi dan mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara di kalangan kaum Muslimin. Maka kewajiban orang yang mempunyai kelebihan dalam tholabul ‘ilmi (belajar) hendaknya ia menekuni pelajaran fiqh dan ilmu-ilmu sarana yang tersedia untuknya, sampai dia mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara di kalangan kaum Muslimin. Dan saya telah sebutkan dalam pembahasaan-pembahasan terdahulu, apa-apa yang dapat membantu dalam belajar. Dan para pemimpin jamaah wajib untuk mengutus orang-orang yang mempunyai ciri-ciri yang seperti ini untuk tholabul ‘ilmi (belajar) dan menanggungnya secara materi, supaya dia berkonsentrasi dalam masalah ini.

3. Masalah yang diperbolehkan untuk bertahkim.


Pendapat kuat yang berlandaskan dalil adalah bahwasanya tahkim itu diperbolehkan dalam segala urusan, dan dalilnya adalah:

a. Hadist Abu Syuroih – yang telah disebutkan diatas dalam perkataan Ibnu Qudamah dan Ibnu Dloyyan – “Bahwsanya dia berkata kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaumku jika berselisih pendapat pada masalah apa saja mereka datang kepadaku, maka saya putuskan permasalahan mereka dan kedua belah pihak rela dengan keputusanku’. Maka Rasulullah mengatakan :’Alangkah baiknya ini”. (Al Hadist).

Perkataannya yang berbunyi: ‘... Jika berselisih pendapat pada masalah apa saja ...” adalah sighoh (bentuk kalimat) yang bersifat umum yang mencakup segala yang diperselisihkan, karena ini adalah kata benda nakhiroh (Syai’) dalam kalimat syarat (idla).

b. Dalil yang lain adalah bertahkimnya orang Yahudi kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam dalam hukuman rajam, dan berlakunya keputusan Beliau atas mereka, sebagaimana yang telah lalu pada perkataan Abu Bakar Ibnul ‘Arabi.


Dengan demikian maka tahkim itu diperbolehkan dalam semua masalah yang terjadi dikalangan kaum Muslimin yang bertempat tinggal di negara yang diperintah dengan menggunakan hukum Kafir dan tidak ada pengecualian dalam hal ini kecuali pada apa yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah di akhir perkataan beliau diatas: ‘Pada dasarnya kewajiban-kewajiban ini dilaksanakan dengan cara yang terbaik. Jika kewajiban ini memungkinkan untuk dilaksanakan bersama seorang Amir maka tidak membutuhkan lagi kepada orang lain, dan apabila tidak bisa dilaksanakan kecuali oleh beberapa orang dan tanpa penguasa maka kewajiban itupun dilaksanakan dan jika dalam pelaksanaannya itu tidak menimbulkan kerusakan melebihi kerusakan yang ditimbulkan oleh terabaikannya kewajiban itu’. (Majmu’ fatawa XXXIV / 176).


Jika tidak mampu bertahkim pada masalah hukum Hudud dan Qishash, atau jika tahkim dalam masalah Hudud dan Qishash akan menimbulkan kerusakan, maka hendaknya tahkim tetap dilaksanakan dalam masalah harta, hak, pernikahan dan lain-lain. Dan semua ini masuk kedalam kaidah bertaqwa kepada Allah Subhana Wa Ta'ala sesuai dengan kemampuan seorang hamba dan masuk dalam kaidah yang berbunyi: ‘Sesuatu yang mudah itu tidak bisa dibatalkan karena sesuatu yang sulit’.

Shyeik Izzudin bin Abdus Salam menjelaskan: “Sesungguhnya orang yang diperintahkan suatu ketaatan, lalu ia hanya bisa melaksanakan sebagiannya dan tidak mampu melaksanakan sebagian yang lainnya, maka hendaknya dia melaksanakan yang ia mampu laksanakan dan gugurlah kewajiban yang tidak mampu ia laksanakan”. (Qowa’idul Ahkam II / 6 – 19).

Kaidah ini disimpulkan dari firman Allah Subhana Wa Ta'ala:  At Thaghaabun: Ayat 16

faittaquu allaaha maa istatha'tum waisma'uu wa-athii'uu wa-anfiquu khayran li-anfusikum waman yuuqa syuhha nafsihi faulaa-ika humu almuflihuuna

[64:16] Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta'atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu1481. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dan dari sabda Rasululah Shalallahu 'Alaihi Wasallam
:

“Dan apa yang ku perintahkan kepada kalian, maka laksanakanlah sesuai dengan kemampuan kalian” (Muttafaqun ‘alaih)

Dan diantara yang masuk dalam kemampuan adalah mengeluarkan zakat, meskipun pemerintah meniadakannya, membayar diyat (denda) pada nyawa dan luka, melaksanakan Khafaroh meskipun hal itu tidak diputuskan dalam pengadilan Kafir dan keharaman Riba’. Dan termasuk dalam hal ini adalah memperhatikan nilai tukar uang dalam peminjaman dan jual-beli yang menggunakan tempo karena nilai tukar uang itu sering berubah-ubah. Dan sering sekali nilai tukar uang itu berkurang. Dalam istilah perekonomian hal ini disebut sebagai inflasi yang sering dipermainkan oleh pemerintah yang dholim pada nilai uang logam dan uang kertas, dengan mengurangi nilainya, ini merupakan penipuan yang keji terhadap rakyat.

Maka seharusnya yang dijadikan landasan dalam berumalah ada dua mata uang yang diakui dalam Syariat (emas dan perak). Misalnya, kamu pada hari ini pinjam pada seseorang 1000 liroh (di Indonesia rupiah) sedang harga satu gram emas pada hari ini adalah 100 liroh. Dengan demikian maka kamu memberikan pinjaman kepadanya 10 gram emas. Jika masa pinjaman itu satu tahun, sedangkan harga emas setelah satu tahun 200 liroh, dan kamu mengembalikan kepadanya uang 1000 liroh berarti kamu mengembalikan uang kepadanya 5 gram dan kamu telah mendholiminya dengan kedholiman yang keji.

 
Seharusnya kamu mengembalikan kepadanya 2000 liroh. Begitu pula sebaliknya jika nilai tukar bertambah maka kamu mengembalikannya dengan kurang dari 1000 liroh sebagaimana perhitungan diatas. Ini bukanlah termasuk bagian dari riba’, akan tetapi kembali kepada mata uang yang diakui secara syar’i.
Dan uang-uang tersebut nilainya tidak diakui secara syar’i kecuali dinilai dengan harga emas atau perak. Hal ini dilakukan oleh orang Islam ketika ia mau mengeluarkan zakat mal atau zakat barang dagangan dan perhitungan nishab dalam kasus pencurian. Perhitungan di atas tidak berlaku pada barang titipan, akan tetapi barang titipan itu dikembalikan sebagaimana ia dititipkan.

Syeikh Ahmad Az Zarqo telah menyinggung masalah ini dalam kitabnya Al Qowa’id Al Fiqhiyyah dalam kaidah: “Tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain”.


Dan beliau menisbahkan perkataan ini pada Al Qodli Abu Yusuf (Syarhul Qowa’id Al Fiqiyyah, karangan Syeikh Ahmad Az Zarqo, halaman 121 cet. Darul Maghrib Al Islami).


4. Haram untuk menolak berhukum pada Syariat


Tidak halal bagi siapapun yang diajak untuk berhukum kepada Syariat lalu ia berpaling darinya. Sebagaimana firman Allah Subhana Wa Ta'ala, Surah An-Nisaa' 61:

wa-idzaa qiila lahum ta'aalaw ilaa maa anzala allaahu wa-ilaa alrrasuuli ra-ayta almunaafiqiina yashudduuna 'anka shuduudaan
 [4:61] Apabila dikatakan kepada mereka : "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.

Firman-Nya lagi, Surah  An Nuur 48-51:

wa-idzaa du'uu ilaa allaahi warasuulihi liyahkuma baynahum idzaa fariiqun minhum mu'ridhuuna
 
[24:48] Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah1045 dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.


wa-in yakun lahumu alhaqqu ya/tuu ilayhi mudz'iniina

[24:49] Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh.
afii quluubihim maradhun ami irtaabuu am yakhaafuuna an yahiifa allaahu 'alayhim warasuuluhu bal ulaa-ika humu alzhzhaalimuuna
[24:50] Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.
innamaa kaana qawla almu/miniina idzaa du'uu ilaa allaahi warasuulihi liyahkuma baynahum an yaquuluu sami'naa wa-atha'naa waulaa-ika humu almuflihuuna
 
[24:51] Sesungguhnya jawaban oran-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka1046 ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Dan inilah yang senantiasa saya nasehatkan kepada saudara-saudaraku kaum Muslimin. Dan saya berpendapat bahwasanya Allah tidak akan memberikan anugerah kepada kaum Muslimin dengan suatu hukum Islam, kecuali jika mereka berhukum kepada Syariat sesuai dengan kemampuan pada kondisi sekarang ini, jika mereka berusaha melaksanakan hal ini

Semoga Allah Subhana Wa Ta'ala memberikan janji-Nya sebagaimana firman-Nya,
Ar Ra’du : 11

lahu mu'aqqibaatun min bayni yadayhi wamin khalfihi yahfazhuunahu min amri allaahi inna allaaha laa yughayyiru maa biqawmin hattaa yughayyiruu maa bi-anfusihim wa-idzaa araada allaahu biqawmin suu-an falaa maradda lahu wamaa lahum min duunihi min waalin

[13:11] Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah767. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan768 yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Ada manfaat lainnya jika kaum Muslimin mau berhukum kepada Syariat yaitu tetap hidupnya Syariat ini baik secara ilmu maupun secara pengamalan dengan terlaksananya pengadilan Syar’i. Hal ini tidak sebagaimana yang diinginkan thoghut yang hendak mematikan Syariat dan orang-orang yang mengembannya. Dan semua ini akan menjadi permulaan bagi hukum Islam atas izin Allah Subhana Wa Ta'ala.

Sesungguhnya undang-undang thogut ini adalah Khuffur Akbar yang mana orang yang membuatnya orang yang menjalankanya, dan orang yang berhukum kepadanya dengan rela dan atas keinginannya mereka keluar dari Islam. Dan ini merupakan kemungkaran yang paling besar. Sedangkan selemah-lemah Iman adalah mengingkarinya dengan hati yang dalam hal ini mengharuskan untuk memboikot undang-undang tersebut, pengadilan-pengadilannya dan para hakimnya serta wajib berbarok terhadap mereka. Dan hendaknya menolak untuk sekolah di fakultas-fakultas hukum yang mempelajari undang-undang Kafir. Adapun pengingkaran dengan lisan diantaranya adalah dengan cara membahas masalah ini dan menyebarluaskannya di kalangan kaum Muslimin dan menyeru mereka untuk melaksanakannya. Adapun pengingkaran dengan tangan terhadap undang-undang Kafir ini dan terhadap pada pelaksanaannya dan yang mempertahankannya adalah dengan Jihadfisabilillah.


Allah Subhana Wa Ta'ala  berfirman, Surah 
Mumtahaanah : 4

qad kaanat lakum uswatun hasanatun fii ibraahiima waalladziina ma'ahu idz qaaluu liqawmihim innaa buraaau minkum wamimmaa ta'buduuna min duuni allaahi kafarnaa bikum wabadaa baynanaa wabaynakumu al'adaawatu waalbaghdaau abadan hattaa tu/minuu biallaahi wahdahu illaa qawla ibraahiima li-abiihi la-astaghfiranna laka wamaa amliku laka mina allaahi min syay-in rabbanaa 'alayka tawakkalnaa wa-ilayka anabnaa wa-ilayka almashiiru

[60:4] Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka : "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya1471: Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Rabb kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali."

Dan Allah Subhana Wa Ta'ala juga berfiman, Surah Al-Anfaal :39

waqaatiluuhum hattaa laa takuuna fitnatun wayakuuna alddiinu kulluhu lillaahi fa-ini intahaw fa-inna allaaha bimaa ya'maluuna bashiirun

[8:39]
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah611 dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah612. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Inilah akhir pembahasan masalah Wujubut Tahaakum Ilasy Syarii’ah (Wajib untuk berhukum kepada Syariat). Wabillahi taufiq. Diterjemahkan dari kitab: Al Jamii’ fi Tholabil Imisy syariif XIV / 12 – 17) oleh Sheiyk Abdul Qadir bin Abdul Aziz penterjemah Abu Musa Al Masjun Fakkallahu Asroh.

http://www.saveabb.com/index.php/catatan-dari-penjara/118-catatan-dari-penjara-seri-10-ust-abu-bakar-baasyir


Tidak ada komentar:

Posting Komentar