(Ustadz Abu Bakar Ba’asyir -fakkallohu asroh-)
بسم الله الرحمن الرحيم
- PENDAHULUAN:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata; “Para fuqoha’ (ahli fiqih) berkata ; "nama itu ada tiga macam" :
Pertama, nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui syariat, seperti sholat dan dzakat.
Kedua, nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui bahasa, seperti; matahari dan bulan.
Ketiga, adalah nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui kebiasaan, seperti ; kata ‘segenggam’ dan kata ‘baik’.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang artinya:
‘Dan pergaulilah istri-istrimu dengan ma’ruf. [1] (Majmu’ Fatawa XIII / 82).
Dan perkataan ini beliau ulang-ulang dalam beberapa tempat diantaranya pada Majmu’ Fatawa VII / 286 dan jilid IX / 235.
Karena kata Demokrasi ini adalah
kata yang tidak dijelaskan dalam Syariat dan juga kata yang tidak
dikenal dalam bahasa Arab, maka untuk mengetahui arti dan hakekatnya
harus dikembalikan kepada pemilik bahasa dan para pencetusnya.
Dalam hal ini Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah mengatakan dalam Ahkamul Mufti :
“Seorang Mufti tidak diperbolehkan
berfatwa dalam masalah pengakuan, sumpah, wasiat dan yang lainnya yang
berkaitan dengan kata-kata yang biasa ia gunakan untuk memahami
kata-kata tersebut tanpa mengetahui kebiasaan orang yang mengucapkannya,
sehingga kata-kata tersebut dipahami sebagaimana apa yang biasa mereka
gunakan meskipun bertentangan dengan hakekat asalnya. Kalau ia tidak
melakukannya, maka ia akan sesat dan menyesatkan”. (A’lamul Muwaqqi’in IV / 228).
Ini semua berkaitan dengan
wajibnya kembali kepada orang-orang yang membuat istilah Demokrasi untuk
mengetahui artinya supaya tidak ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud
Demokrasi adalah Syuro, atau yang dimaksud adalah aktivitas politik,
atau nama-nama yang lain yang akan mengacaukan hakekatnya dan kemudian
mengacaukan hukumnya.
- HAKEKAT DEMOKRASI :
Karena demokrasi adalah istilah politik
Barat, maka berdasarkan Pendahuluan di atas harus dikembalikan kepada
pemilik istilah tersebut untuk mengetahui artinya yang akan menentukan
hukumnya.
Arti Demokrasi menurut para penganutnya adalah : “Kedaulatan di tangan rakyat. Dan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dan tanpa batas serta tidak dikendalikan oleh kekuasaan apapun selainnya.
Kekuasaan ini berupa hak untuk penguasa-penguasa mereka dan hak dalam membuat perundang-undangan semau mereka. Dalam hal ini kadang rakyat mewakilkannya kepada orang-orang yang mereka pilih sebagai wakil mereka di parlemen dan para wakil tersebut mewakili mereka dalam menjalankan kekuasaan.
Disebutkan dalam Mausu’atus siyasah: semua negara Demokrasi berdiri di atas satu dasar pemikiran yaitu, bahwa kekuasaan kembali kepada rakyat dan rakyatlah yang berdaulat. Artinya, pada intinya Demokrasi itu prinsipnya adalah kedaulatan ditangan rakyat”. (Mausu’atus Siyasah tulisan DR. Abdul Wahab Al-Kiyali II / 756).
Arti Demokrasi menurut para penganutnya adalah : “Kedaulatan di tangan rakyat. Dan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dan tanpa batas serta tidak dikendalikan oleh kekuasaan apapun selainnya.
Kekuasaan ini berupa hak untuk penguasa-penguasa mereka dan hak dalam membuat perundang-undangan semau mereka. Dalam hal ini kadang rakyat mewakilkannya kepada orang-orang yang mereka pilih sebagai wakil mereka di parlemen dan para wakil tersebut mewakili mereka dalam menjalankan kekuasaan.
Disebutkan dalam Mausu’atus siyasah: semua negara Demokrasi berdiri di atas satu dasar pemikiran yaitu, bahwa kekuasaan kembali kepada rakyat dan rakyatlah yang berdaulat. Artinya, pada intinya Demokrasi itu prinsipnya adalah kedaulatan ditangan rakyat”. (Mausu’atus Siyasah tulisan DR. Abdul Wahab Al-Kiyali II / 756).
Beliau berkata tentang Demokrasi perwakilan : ‘Yaitu
bahwa rakyat sebagai pemegang kekuasaan tidak melakukan sendiri dalam
melaksanakan kekuasaan perundang-undangan, akan tetapi menyerahkannya
kepada wakil-wakil mereka yang mereka pilih selama masa tertentu. Mereka
mewakili rakyat dalam melaksanakan kekuasaan dengan mengatas namakan
rakyat.
Maka parlemen dalam Demokrasi perwakilan adalah yang memerankan kekuasaan rakyat dan dialah yang mengungkapkan kemauan rakyat melalui perundang-undangan yang mereka keluarkan. Dan sistem semacam ini secara sejarah dari Inggris dan Perancis kemudian berpindah ke negara-negara lain”. (Mausu’atus Siyasah tulisan DR. Abdul Wahab Al-Kiyali II / 757).
Maka parlemen dalam Demokrasi perwakilan adalah yang memerankan kekuasaan rakyat dan dialah yang mengungkapkan kemauan rakyat melalui perundang-undangan yang mereka keluarkan. Dan sistem semacam ini secara sejarah dari Inggris dan Perancis kemudian berpindah ke negara-negara lain”. (Mausu’atus Siyasah tulisan DR. Abdul Wahab Al-Kiyali II / 757).
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa Demokrasi itu intinya adalah : kedaulatan rakyat. Dan
bahwa kedaulatan itu inti dasarnya adalah hak mutlak dalam membuat
perundang-undangan yang tidak tunduk kepada kekuasaan apapun selain
padanya.
Dan berikut ini beberapa pengertian Kedaulatan :
Abdul Hamid Mutawali, dosen perundang-undangan berkata ; “Demokrasi
adalah perundang-undangan yang dibangun diatas prinsip kedaulatan
rakyat, sedangkan Kedaulatan sesuai dengan pengertiannya adalah;
kekuasaan tertinggi yang tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari
padanya”.(Andzimatul Hukmi Fid Dualin Namiyah oleh Dr Mutawali cet. 1985 hal. 625).
Yosef Frankl, seorang politikus Barat berkata, “Yang dimaksud dengan Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya atau yang berada di belakangnya yang layak untuk mengevaluasi ketetapan-ketetapannya. Dan inilah arti dasar yang tidak pernah mengalami perubahan selama ini”.
Sedangkan definisi Kedaulatan menurut John Bodn, pada tahun 1576 M yang intinya ; “Bahwa
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang berada diatas penduduk dan
rakyat yang tidak dibatasi oleh Undang-Undang. Definisi kedaulatan ini
tetap benar meskipun arti Kedaulatan yang dimaksudkan oleh Bodn adalah
pemimpin pada zamannya selanjutnya telah berpindah kepada rakyat”. (Al-Alaqot Ad-Dauliyah, tulisan Yosef Frankin terbitan Tihamah 1984 M / 25).
- SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI MODERN
Demokasi bermula dari revolusi Perancis
tahun 1789 M meskipun sistem perwakilan parlemen ini telah bermula di
Inggris satu abad persis sebelum itu. Dan secara pemikiran sesungguhnya
prinsip kedaulatan rakyat yang merupakan dasar pemikiran Demokrasi telah
tersebar sebelum terjadinya revolusi Perancis selama beberapa puluh
tahun, yaitu dalam tulisan-tulisan John Lock, Montesquieu, Jean Jacques
Rousseau, orang-orang yang memunculkan pemikiran ikatan sosial yang
menjadi dasar kedaulatan rakyat.
Hal itu sebagai reaksi dan perlawanan
terhadap pemikiran penyerahan diri kepada Tuhan yang berkembang di Eropa
selama kurang lebih 10 abad. Sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa
para raja itu menjalankan hukum atas pilihan dan penyerahan dari Allah.
Dengan demikian maka para raja itu mempunyai kekuasaan mutlak yang
diperkuat dengan dukungan dari para Paus. Rakyat Eropa pun sangat
menderita lantaran sistem ini dan kedaulatan rakyat ketika itu menjadi
alternatif untuk keluar dari kekuasaan mutlak para raja dan para Paus
yang berkuasa atas dasar perwakilan Tuhan sebagaimana pengakuan mereka.
Dengan demikian pada asalnya Demokrasi itu adalah penentangan terhadap
kekuasaan Allah untuk memberikan segala kekuasaan kepada manusia untuk
membuat peraturan hidup dan perundang-undangannya sendiri tanpa batas
apapun
Dan perpindahan dari pemikiran kekuasaan
berdasarkan perwakilan Tuhan menuju pemikiran kedaulatan rakyat tidaklah
berjalan dengan damai, akan tetapi melalui revolusi berdarah yang
sangat dahsyat di dunia, yaitu yang dikenal dengan revolusi Perancis
pada tahun 1789 M yang mana motto ketika itu adalah; “Gantunglah Raja Terakhir dengan Usus Pendeta Terakhir”.
Syaikh DR. Syafar Al Hawali berkata ; “Revolusi
itu melahirkan hasil yang sangat penting, yaitu lahirnya pertama kali
di dalam sejarah Eropa Nasrani sebuah negara Republik Sekuler yang
berfalsafah kekuasaan atas nama rakyat dan bukan atas nama Allah, bebas
beragama sebagai ganti doktrin Katolik kebebasan setiap orang sebagai
ganti dari ikatan perilaku keagamaan dan undang-udang positif sebagai
ganti dari ketetapan-ketetapan Gereja” (Al Imaniyah, tulisan DR. Staffar Al-Hawali, hal. 178, terbitan Universitas Umul Qurro th 1402 H).
Pemikiran kedaulatan rakyat dan haknya dalam membuat undang-undang ini nampak jelas dalam prinsip-prinsip revolusi Perancis dan undang-undangnya. Pada pasal ke 6 dari proklamasi hak-hak asasi manusia pada tahuan 1789 M tertera bahwa; ‘Undang-Undang adalah manisfestasi dari kehendak rakyat’, artinya bahwa undang-undang itu bukanlah manifestasi dari kehendak Gereja atau kehendak Allah. Dalam proklamasi hak-hak asasi manusia yang dikeluarkan bersama dengan undang-undang Perancis pada tahun 1793 M Pasal ke 25 menyatrakan bahwa; ‘Kedaulatan Terpusat pada Rakyat’.(Dinukil dari
Mabadi’ul Qonunid Dusturi tulisan DR. As Sayyid Shobri, hal. 25).
Oleh karena itu, DR Abdul Hamid Mutawali mengatakan ; ‘Prinsip-prinsip revolusi Perancis tahun 1789 terhitung sebagai dasar prinsip-prinsip Demokrasi Barat. (Andzimatul Hukmi Fid Duwalin Namiyah, tulisan DR Mutawali hal. 30).
- HUKUM DEMOKRASI
Yang menjadi patokan hukum Demokrasi
adalah adanya kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan yang dimaksud
dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal
kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya sehingga kekuasaannya itu
berasal dari rakyat tanpa ada batasan apapun.
Maka rakyat berhak berbuat apa saja dan
membuat undang-undang semaunya tanpa ada seorangpun yang berhak untuk
mengkritisinya.
Dan hal semacam ini sesungguhnya merupakan sifat Allah sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
Dan hal semacam ini sesungguhnya merupakan sifat Allah sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
![]() |
awa lam yaraw annaa na/tii al-ardha nanqushuhaa min athraafihaa waallaahu yahkumu laa mu'aqqiba lihukmihi wahuwa sarii'u alhisaabi |
[13:41] Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah Yang Maha cepat hisab-Nya. |
Dan firman-Nya lagi :
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ
الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ
وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۗ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
[5:1] Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu bnatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. |
Dan firman Nya lagi:
![]() |
inna allaaha yudkhilu alladziina aamanuu wa'amiluu alshshaalihaati jannaatin tajrii min tahtihaa al-anhaaru inna allaaha yaf'alu maa yuriidu
|
[22:14] Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. |
Kami ringkaskan dari penjelasan di
atas bahwa Demokrasi itu melepaskan peribadahan (ketundukan) dari
manusia, lalu memberikan hak mutlak kepadanya untuk membuat
undang-undang. Dengan demikian maka Demokrasi menjadikan manusia sebagai
Rabb (Ilah) selain Allah, dan menjadikannya (manusia) sekutu bagi
Allah dalam membuat undang-undang. Dan perbuatan ini adalah Kuffur Akbar
yang tidak ada keragu-raguan lagi padanya. Dengan ungkapan yang lebih
detail lagi adalah bahwa Rabb (Ilah) baru dalam Demokrasi adalah
kemauan manusia, ia membuat undang-undang sesuai dengan pemikiran dan
kemauannya tanpa ada pembatas apapun.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
![]() |
|||
ara-ayta mani ittakhadza ilaahahu hawaahu afa-anta takuunu 'alayhi wakiilaan
|
|||
[25:43]
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Ilah(tuhan)nya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?,
|
|||
Maka hal ini berarti menjadikan
Demokrasi sebagai agama yang berdiri sendiri yang mana pemegang
kedaulatan padanya adalah rakyat, maka jelas ini bertentangan dengan
Dinul Islam yang menegaskan bahwa pemegang kedaulatan adalah Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shollallohu ‘alaihi
wasallam :
“PENGUASA ITU ALLAH TABAAROKA WATA’ALA”.
(HR Abu Dawud dengan sanad shahih)
(HR Abu Dawud dengan sanad shahih)
Bersambung Insya Allah
[1] Kata ma’ruf secara bahasa berarti baik sedangkan menurut istilah
adalah hubungan antara suami dengan istrinya yang sesuai dengan
syari’ah Islam. Shalat secara bahasa berarti do’a, sedangkan menurut
istilah syari’ah adalah sebuah ibadah yang diawali dengan takbiratul
ihram dengan disertai niat, diakhiri dengan salam, di dalamnya terdapat
ruku’ dan sujud serta rukun-rukun lainnya.
(footnote adalah tambahan dari penyunting)





Tidak ada komentar:
Posting Komentar